Mark menepi sendiri, ia terduduk di sofa flatnya yang mulai terlihat lusuh. Ia hanya mengusap-usap kepala sambil sesekali menepuknya kencang. Sudut bibir yang pecah dan sedikit mengeluarkan darah perlahan mulai mengering. Mark sudah tidak memperdulikan apa-apa lagi, semuanya sudah terlalu kompleks dan begitu banyak orang terluka hanya karena kebodohan dirinya yang tidak bisa mengontrol ego dan segala afeksi yang selama ini ia jauhi betul. Harusnya ia tidak pernah memberi excuse apapun sedari awal. Untuk saat ini lebih baik mengembalikan semua kegilaan tersebut ke posisi dimana segala sesuatunya bermula tanpa saling mengugat dan mengganggu satu sama lain.
Mark merasa buruk setelah ia hamburkan emosinya kehadapan Haechan, benar apa yang diutarakan Lucas jika ia memang tidak tau apa-apa dan memang bukan siapa-siapa. Tidak ada satupun yang tidak tepat dari apa yang dilontarkan pria itu, seharusnya Mark sadar diri jika sebenarnya sejak hari pertama posisinya hanya sebagai tetangga Haechan bukan sebagai seseorang yang berhak memiliki satu sama lain. Sikap Haechan yang bebas dan tidak mau dikekang sangat berbeda dengan sifatnya yang tentu saja kerap mengedepankan pride dan egoisitasnya sebagai seorang pria. Jika Mark terus memaksakan diri, maka ia hanya bisa menyakiti seseorang yang ia kasihi setelah 4 tahun belakangan menolak untuk bertautan dengan siapapun. Mark menatapi kedua tangannya hampa, begitu banyak luapan rasa ingin memiliki namun ia tak pernah berani menggapai dan perlahan energi-energi tersebut berubah menjadi deru amarah yang tak tertahankan.
Suara derik pintu flat memecah lamunan pria kuyu yang sedang uring-uringan tersebut, secara tidak disangka Haechan datang menghampiri dengan raut wajahnya yang terluka. Mata pria tetangga Mark tersebut sembab namun urat-urat di dahinya menyembul seakan ia telah berusaha keras menahan emosi yang melesak-lesak mengalahkan segala perintah dopamine dalam sistem tubuhnya.
"Mark." Haechan menghampiri Mark dan duduk tepat di sebelahnya.
"Lebih baik kau kembali Haechan, aku lelah."
"Mark, aku minta maaf." Haechan nanar memandangi bayangan dirinya yang jatuh pada lantai karpet yang sudah lumayan berdebu di sela-sela kakinya. Atmosfer flat Mark terasa semakin intimidatif, flat yang hangat itu terasa seperti ruang hampa udara.
"Haechan kau tidak perlu minta maaf untuk hal yang memang kau inginkan." Mark memandangi Haechan dengan helaan nafas yang berat.
"Mark kau terluka dan itu karenaku."
"Kau tidak memukulku, kau tidak akan kuat." Mark setengah terkekeh, ia tidak ingin terus melukai pria yang kini terlihat hampa di sampingnya.
"Mark."
"Kau tau Haechan aku sangat merindukan hari-hari seperti ini, dimana hanya ada aku, kau dan kepayahan-kepayahan kita berdua. Sayang hidup memang keras dan tidak memihak." Mark meringis lirih.
"Mark aku minta maaf."
"Kau butuh waktu sendirian, pergilah aku tidak akan mengganggumu." Mark mengusak-usak rambut Haechan penuh hikmat, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, toh kesempatan tersebut mungkin untuk terakhir kalinya.
"Aku ingin disini sejenak."
"Ah yang benar? Kau tidak salah bicara?" Goda Mark sambil mengusap kantung mata Haechan yang sudah merah dan memberat. "Haechan kau harus banyak-banyak tidur yang nyenyak dan berhentilah memikirkan segala sesuatu yang tidak penting. Kau janji?"
"Kau mau bunuh diri?" Haechan secara tiba-tiba mengajukan pertanyaan setengah bercanda yang hampir tidak masuk akal.
"Hei sembarangan saja, tidak mungkin aku bunuh diri hanya karena dirimu ini.... aduh yang benar saja. Baru berpisah denganku sebentar kepalamu makin menciut." Mark menggeleng-gelengkan kepalanya yang dibalas dengan dengusan Haechan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strange Overtones (Completed)
RomanceThe chronicles of Mark and his new neighborhood. Haechan adalah tetangga baru Mark?