Katanya rumah adalah tempat yang paling nyaman? Nyatanya perumpamaan itu tidak berpihak kepadaku.
_______
Termenung, tatapan seolah kosong, hatinya dipenuhi oleh rasa campur aduk. Gadis cantik berbola mata coklat itu duduk di kursi belajar. Mejanya dipenuhi oleh tumpukan buku berisikan rumus, materi, hingga soal-soal yang akan ia pelajari pada malam ini. Ia menghela napas kasar, bolpoin yang sedari ia pegang kini bergerak mencoretkan tinta ke dalam buku catatan yang ia punya.
Pikirannya kacau, hingga tak sadar air mata keluar dari pelupuknya. Namun, tangannya tak berhenti bergerak dan tetap melanjutkan untuk mencatat materi. Sebenarnya apa yang terjadi?
Ia hanya berpikir, hidupnya benar-benar seperti robot. Dituntut ini dan itu, ditambah lagi tuntutan itu harus dicapai dengan maksimal. Jika tidak, ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebenarnya, ia terpaksa, teringin sekali ia keluar dari kehidupan yang kejam ini. Namun, ia tidak bisa melakukan hal tersebut. Bukan tak berani, tetapi ayahnya bukan orang biasa, dia keras dalam mendidik anak. Hingga, Alya tumbuh menjadi orang yang kuat. Bukan kuat, tetapi terpaksa untuk kuat karena keadaan yang terjadi.
Ketukan pintu terdengar dari luar sana. Kefokusannya mulai buyar, ia menatap jam di dinding. Ternyata, sudah waktunya untuk makan malam. Hal yang paling ia benci, bertemu dengan ayahnya dan pasti akan membahas tentang kemampuan gadis itu.
"Non, makan dulu. Tuan sudah menunggu di meja makan." Bi Surti, asisten rumah tangga yang telah bekerja belasan tahun di di rumahnya.
Alya tersenyum menatap Bi Surti, seorang paruh baya itu sangat baik hati. Bahkan, Alya telah menganggapnya sebagai ibunya sendiri. "Iya, Bi!"
Bergegas Alya pun membereskan buku yang berserakan di mejanya agar terlihat rapi. Ia pun menguncir rambut dengan gelang karet berwarna hitam yang selalu ia pakai di tangannya. Alya mulai melangkahkan kakinya, melewati tangga demi tangga tanpa tenaga. Tubuhnya lemas, mungkin karena efek begadang yang selalu ia lakukan setiap malam.
Hening, Alya mendudukkan tubuhnya di kursi yang sudah tersedia. Tak ada percakapan sama sekali. Bahkan, gadis itu merasa kelu hanya untuk sekedar bertegur sapa dengan ayahnya. Tentunya, Bi Surti tidak menyukai hal itu, wanita paruh baya itu tak menyukai keheningan. Namun, setiap kali ingin mengeluarkan suara ia selalu takut dengan tatapan sang majikan. Jika saja ayah Alya tak di rumah, pasti Bi Surti sudah bercanda ria dengan Alya sedari tadi.
"Ayah memindahkan kamu ke sekolah itu bukan tanpa alasan." Suara terdengar, sedikit memecahkan keheningan ini.
Alya mendongak menatap ayahnya, dirinya tersenyum kecut. "Alya udah tau apa alasannya." Ya, ia tau apa yang dimaksud oleh ayahnya. Memisahkan seorang anak dengan sang ibu, sebenarnya Alya tak keberatan dengan hal itu karena pikirannya bertemu atau tidak dengan ibunya pasti akan sama saja, sama-sama hanya terabaikan. Namun, ia bukan orang yang mudah untuk melupakan seseorang yang pernah dianggapnya berharga.
Banyak yang berkata, seburuk apapun orang tuamu tetap saja sampai kapanpun mereka adalah orang tuamu. Yah, itulah yang dirasakan oleh Alya. Ia hanya berharap bisa kembali menjalani hidup dengan keluarga yang utuh seperti 7 tahun yang lalu. Ia sebenarnya tidak benci kepada mereka, tetapi rasa kecewa yang selalu menyelimutinya. Kecewa akan apa yang sudah diperbuat oleh orang tuanya.
"Kamu tau apa yang harus kamu lakukan selanjutnya?" tanya Atfatur, ayah Alya.
Tiba-tiba tangan Alya terhenti menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. "Iya-iya, Alya udah tau. Belajar terus, sampai nggak tau caranya berpikir!" ketus gadis itu sembari mengetuk-ngetukkan sendok ke piring.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALZANO
Teen FictionSiapa yang tak ingin mendapatkan peringkat pertama pararel sekolah? Pasti banyak sekali orang yang menginginkan posisi itu. Termasuk Alzano Algieba Leonard, seorang lelaki yang berhasil mendapatkan posisi pertama selama berturut-turut sejak duduk di...