Mungkin banyak sekali orang-orang yang menginginkan hari libur. Hari di mana bisa beristirahat dari penatnya aktivitas sehari-hari. Begitu pula dengan lelaki satu ini. Alzano, masih terlelap di bawah selimut tebalnya. Padahal, matahari kian menjulang tinggi. Namun, lelaki itu masih betah menjelajahi bunga tidurnya.
Tanpa merasa terganggu dengan suara ayam tetangga yang terus berkokok dan alarm yang sudah beberapa kali berbunyi. Dengkuran semakin kuat menandakan tidurnya sangat nyenyak. Dering ponsel berbunyi, seseorang menghubunginya beberapa kali.
Alzano sedikit terusik mendengar itu. Namun, karena terasa sangat mengantuk ia tak menghiraukannya. Walaupun begitu, ponselnya tetap saja berbunyi seolah ada suatu yang sangat penting untuk disampaikan kepada Alzano. Lelaki itu membuka matanya, dengan kasar ia meraih benda pipih itu yang terletak di atas nakas.
Ia pun mengangkat panggilan itu. "Apa?" ucapnya tanpa basa-basi.
"Anjir lo, kenapa kagak dateng ke markas?" ujar seseorang dari seberang sana.
"Kagak, males." Alzano memutus panggilan secara sepihak.
Alzano menghela napas, ia pikir ada sesuatu hal penting yang akan disampaikan, ternyata hanyalah seorang Alfi yang mengajaknya berkumpul dengan teman-teman lainnya.
Lelaki itu beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke arah kamar mandi. Hawa kantuknya telah hilang karena air dingin yang telah membasahi muka serta rambutnya.
Masih sibuk dengan sikat giginya, Alzano memandang cermin sejenak. Wajah yang mirip dengan almarhumah ibunya. Lelaki itu tersenyum sangat tipis nyaris tak terlihat. Sebenarnya, ia sangat bersyukur memiliki wajah yang mirip dengan ibunya. Namun, di sisi lain ia selalu merasa dihatui oleh rasa bersalah.
Ponsel berdering lagi dari saku celananya. Ia merogoh saku dan mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum," ucap seseorang dari seberang sana.
"Waalaikumsalam." Alzano menjawab dengan nada ketus.
"Lo harus pulang sekarang. Nggak peduli lo nolak atau kagak, pokoknya hari ini lo harus pulang ke rumah. Ayah mau bicara sama lo," katanya to the point.
"Harus? Lo siapa berani ngatur-ngatur gue?" jawabnya dengan tak suka.
"Gue abang lo, Zan."
"Sejak kapan gue punya Abang?"
"Zan, kita sodara. Stop! Lo benci gue kayak gini, kapan sih lo bersikap dewasa? Jangan kekanak-kanakan, deh," tutur orang itu.
"Gue nggak ada saudara dan juga keluarga." Alzano menatap kaca di depannya. Tatapan yang terpantul di depannya terlihat tajam.
"Kita dari rahim yang sama. Sampai kapanpun lo tetap satu keluarga sama gue, kita saudara. Saudara kandung!" Napasnya terdengar memburu dari seberang sana.
"Nggak akan pernah!" ucapnya dengan nada dingin.
"Kapan lo bisa maafin gue? Kenapa lo benci banget sama gue? Apa salah gue, Zan?" tanyanya dengan helaan napas panjang.
"Banyak!" jawabnya sangat singkat.
"Kali ini aja, lo pulang buat jenguk ayah. Ayah sakit," ucapnya dengan nada lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALZANO
Teen FictionSiapa yang tak ingin mendapatkan peringkat pertama pararel sekolah? Pasti banyak sekali orang yang menginginkan posisi itu. Termasuk Alzano Algieba Leonard, seorang lelaki yang berhasil mendapatkan posisi pertama selama berturut-turut sejak duduk di...