"Saya tidak berharap Anda kemari!" Suara itu menggema memenuhi seisi ruangan.
Lelaki berbadan tinggi itu berdiri tegap menghadap seseorang yang lebih tua 30 tahun darinya. Emosinya kian meluap di saat seorang paruh baya memintanya untuk pulang bersama. Namun, Alzano menolak dengan keras, lantaran sikap ayahnya yang dulu semena-mena terhadapnya.
"Alzano Algieba Leonard! Saya ini Papa kamu, bisakah kamu lebih sopan sedikit terhadap orang tua?!" Suaranya pun tak kalah keras dengan ucapan yang keluar dari mulut Alzano tadi.
"Orang tua? Orang tua mana yang tega mengusir anaknya dan membiarkan hidup sendirian? Saya di sini berjuang mati-matian buat bertahan hidup! Dan Anda? Pernahkah peduli dengan saya? Di saat saya sakit, apakah Anda pernah kemari untuk menjenguk saya? Tidak 'kan? Bahkan hanya untuk menanyakan 'apakah kamu baik-baik saja atau apakah kamu sudah makan?' saja Anda tidak pernah melakukan hal itu terhadap saya!" Tangan Alzano mengepal dengan erat, matanya memerah seakan ingin meluapkan semua emosinya terhadap sang ayah.
Leo —ayah Alzano— terdiam mendengarkan tutur kata anaknya. Memang benar, selama ini yang dilakukan salah, membiarkannya sendiri tanpa pengawasan dan kurangnya kasih sayang. Tak heran, jika lelaki itu tumbuh menjadi anak yang susah sekali untuk diatur.
Namun, kembali lagi pada masa lalu, lelaki paruh baya itu masih tidak merelakan istrinya pergi untuk selama-lamanya. Dan, sampai detik ini ia masih menyalahkan Alzano, anaknya sendiri yang entah itu benar kenyataannya ataukah bukan dari peristiwa yang menimpa sang istri saat itu.
Sebenarnya hatinya sedikit tertegun, tetapi karena sikap egois yang dimiliki sehingga menepis jauh-jauh niatnya hanya untuk mengucapkan kata 'maaf' sebagai sahutan dari anaknya itu yang sudah lama tak ia pedulikan.
"Kenapa Papa diam? Benarkan yang saya ucapkan?" Alzano bersedekap dada memandang lurus ke depan menatap mata sang ayah.
"Papa masih berbaik hati sama kamu untuk mengajak pulang ke rumah." Leo merendahkan suaranya, tetapi Alzano menatapnya tak suka.
"Maaf, saya tidak minat! Lebih baik saya hidup sebatang kara dan penuh dengan kebebasan daripada harus bersama Anda yang terus mengekang kehidupan saya! Saya tidak suka diatur!" ucapnya dengan tatapan dingin.
"Mama kamu meninggal gara-gara kamu! Seharusnya kamu bisa intropeksi diri!" ucap Leo menggebu-nggebu karena anaknya membantah.
Alzano menghela napas, lagi-lagi permasalahan ini yang dibahas. "Insiden itu sudah lama terjadi, dan Anda masih menyalahkan saya atas kematian mama saya? Saya masih kecil saat itu dan saya tidak tau apa-apa. Dan tiba-tiba Anda selalu menyalahkan apapun yang terjadi kepada saya!" Hatinya seakan teriris karena Leo membahas tentang kematian sang ibunda.
"Seandainya saat itu kamu tidak minta macam-macam kepada mamamu pasti tidak akan seperti ini!" Leo mengalihkan pandangannya ke penjuru lain.
"Kemana saja Anda selagi mama hidup? Kenapa baru menyadari bahwa keberadaan mama di hidup Anda sangat berarti setelah beliau tiada? Padahal, dulu Anda hanya menikmati hidup Anda sendiri dengan wanita jalang di luar sana. Dasar brengsek!"
Plak!
"Jaga ucapan kamu!" Leo berteriak, Alzano hanya memandang sinis tanpa menghiraukan rasa panas di pipinya akibat tamparan yang sangat keras yang diberikan oleh sang ayah.
"Stop, Pa! Nggak seharusnya Papa lakuin ini sama Zano! Dia nggak bersalah!" Suara bariton menghentikan semua interaksi kedua orang itu. Dia Alvaro Garendra Leonard, kakak laki-laki Alzano yang hanya berselisih 2 tahun lebih tua darinya. Namun, di sekolah Alvaro menempati bangku kelas 12.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALZANO
Teen FictionSiapa yang tak ingin mendapatkan peringkat pertama pararel sekolah? Pasti banyak sekali orang yang menginginkan posisi itu. Termasuk Alzano Algieba Leonard, seorang lelaki yang berhasil mendapatkan posisi pertama selama berturut-turut sejak duduk di...