Untaian 1 ~ Putusnya Hubungan

2 1 0
                                    

"Stop! Stop Gian!!" Seru seorang wanita dengan nada panik. Tatapan matanya syarat akan ketakutan saat menatap sosok pria jangkung di depannya. Bagaimana tidak? Pria yang dipanggil Gian itu kini tengah menghajar seorang pria di hadapannya.

"Udah Gian, kasihan Kak Keano," pria yang dipanggil Gian itu seakan tak peduli. Ia menatap wajah gadis itu sedetik lalu berbalas menghunus tatapan yang lebih tajam kepada pria di depannya ini.
Pria bernama Keano sepertinya tak ada niatan untuk membalas.

"Anjing lo! Bangsat! Sialan!" maki Gian tanpa melepas tatapannya.
Tulang pipi memar, pelipis pria itu berdarah. Tapi Gian belum juga ingin menyudahi acara menghajarnya. Ia menarik kerah pria itu, mengayunkan tangan kanannya yang dikepal hendak meninju. Tapi sebelum tinjunya mendarat di wajah Keano, sebuah tangan mulus nan halus menahannya. Yana. Yana Bella Marnico. Wanita yang kini menjadi alasan perkelahian antara kedua sahabat. Gian dan Keano.

"Udah Gi udah." Yana menatap Gian dengan muka memelas. Air mata sudah meluruh ke pipi gadis itu.
"Aku yang salah," lanjutnya lagi. Gian yang mendapat tatapan memelas itu pun melepaskan genggamannya dari kerah Keano. Ia balas menatap ke arah Yana dengan setengah emosi yang masih dia tahan. Jujur, jika bukan karena Yana ia jamin Keano pasti akan berada di UGD.

"Aku yang salah disini. Bukan Kak Keano."

Ia menutup matanya, takut menatap sepasang mata hitam legam milik Gian.

Yana memilih untuk jujur saja daripada semuanya semakin runyam. Terserah apa reaksi Gian, Ia harus jujur. Iya akan membiarkan egonya yang menang.

"Aku sayang kak Keano," membuka matanya dan menatap sosok yang telah terduduk lemah di atas rumput.
Pekarangan rumah Yana menjadi saksi apa yang tengah terjadi diantara mereka bertiga.

Sejam lalu Gian hendak menjemput Yana untuk menemani gadis itu berbelanja. Tapi pemandangan saat ia tiba di depan rumah Yana membuat emosinya naik hingga ke ubun-ubun. Yana sedang memeluk seorang lelaki. Dan yang parahnya adalah Gian mengenal siapa lelaki sialan itu. Tak lain adalah sahabat pria itu. Sumpah! Gian merasa ini lebih parah dari perkara saat sahabat kalian pinjam duit tetapi saat dapat kiriman orang tua yang entah menjual sapi atau tanah dikampung, ia seolah lupa kalau dia masih punya hutang. Perkara ini lebih parah dari itu. Ini pengkhianatan. Dan Gian paling benci itu melebihi apapun di dunia ini.

"Shit!" Ia mengumpat, turun dari Pajero Sport putihnya lalu menghampiri keduanya. Adegan selanjutnya kalian pasti bisa menebaknya.

Gian menatap Yana dan Keano tak percaya. "Sejak kapan? Sejak kapan kamu nggak sayang aku lagi Na?" Kedua mata itu tak hanya menunjukkan amarah, tapi juga kekecewaan.

"Dan sejak kapan lo jadi sahabat brengsek gini No?"
Keduanya diam tak bersuara.

"Lo tau kan kalo gue paling benci orang yang bisanya cuman main belakang!? Lo berdua nggak ada bedanya dari pengkhianat!!" Nada suaranya bertambah tinggi seiring kekecewaan yang ia ungkapkan. Amarah ini tak bisa ditahan lagi.

Yana menarik napas mempersiapkan kejujuran. Kejujuran yang bermuara pada perpisahan. Ia tahu bahwa Gian dan Keano bersahabat akrab. Tapi entah kenapa kali ini ia ingin egonya yang menang. Tidak peduli sedalam apa ia akan menyakiti Gian dan Keano.

"Aku minta maaf sama kamu Gi." Ia melirik Gian sejenak. Menarik napas mengumpulkan keberanian.

"Aku rasa kita nggak bisa bareng lagi. Aku terlalu capek buat ngadepin sifat kamu yang selalu sibuk sendiri. Kamu egois, Gi. Kamu nggak pernah mau mengerti aku."

"Hhh" Gian menarik sebelah sudut kanan bibirnya, tersenyum meremehkan. Oke, ini alasan klise yang ia dapatkan setiap para mantannya -dengan wajah tak berdosa- mengakhiri hubungan. Ia akan selalu menjadi pihak yang disalahkan.
Memangnya apa salahnya dengan mempunyai kepribadian dingin dan cuek?

Wanita selalu menuntut untuk dimengerti. Selalu menuntut para pria untuk lebih peka. Tapi apakah mereka tidak tahu kalau lelaki juga ingin dimengerti? Lelaki juga ingin para wanita menjadi lebih peka dalam memahami apa yang mereka inginkan. Tidak muluk-muluk. Sesederhana itu. Tapi namanya juga wanita, sifat tidak pernah puas mereka itu sudah mendarah daging hingga ke sel-selnya. Jangan lupakan semboyan sehidup semati mereka 'Cewek nggak pernah salah.'

"Aku kayak pacaran sama patung. Jujur aja, kamu nggak pernah sayang sama aku kan? Kamu nembak cuman karena mau pamer sama temen-temen kamu kan? Kalau kamu akhirnya bisa ngedapetin cewek yang banyak diincar cowok diluaran sana, iyakan?"
Hm wanita dan segala sifat percaya dirinya.

Gian menekan sebentar sakit di hatinya. Ia tidak ingin menjadi pria yang terlihat lemah karena putus cinta. Ini bisa jadi sebuah pengginaan baginya. Walau bagaimana pun juga ia pernah bersama wanita dihadapannya ini. Setahun bukanlah waktu yang singkat baginya. Ia menyayangi Yana. Tapi ego wanita itu tak pernah bisa menangkap perasaannya. Yana terlalu dangkal untuk bisa menyelami hatinya. Ia menatap kedua orang itu lama untuk menyalurkan rasa sakit hatinya.
Tanpa ba bi bu ia berjalan memasuki mobil dan meninggalkan mereka.

♡♡♡

Di dalam mobil Pajero berwarna merah marun itu, Gian duduk mematung memandang kosong ke ujung jalan. Setelah pertengkaran tadi, ia memutuskan untuk pergi sejenak. Ia memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Di sebelah kirinya, ombak dari laut lepas tengah bergelung, menimbulkan suara bergemuruh. Ia membuka pintu, turun dari mobil. Jalanan disitu sepi. Hanya ada sebuah bis yang berhenti di pantai depan sana. Itu pun sudah sejam yang lalu. Gian berjalan ke depan lalu tidur bersandar di atas kap mobilnya dengan kedua tangan terlipat dibelakang kepala sebagai bantal.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik nafas rakus lalu menghembusnya kasar.

"Selalu begini endingnya," ujarnya pelan sambil membuka mata.
"Ada yang salah sama gue." Itu lebih seperti bisikan untuk dirinya sendiri.

"Perasaan gue udah ngelakuin apa yang dia mau. Beliin baju, iya. Traktir makan di restoran, iya. Beliin tas, iya. Mahal pula. Maunya apa sih sebenarnya?" omelnya seorang diri.

"Pusing gue. Cewek nggak ada yang bener!" tukasnya emosi sambil bangkit duduk. Frustasi dengan tingkah para wanita -yang dia kenal.

Sejenak ia terdiam. Menyadari suasana sekelilingnya.

"Gila! Gue bisa nyetir sejauh ini cuman gara-gara diputusin?" Gian melongo. Menyadari dimana sekarang ia berada. Di sebuah pantai ke jalur utara 40 km dari kota. Dia memasang wajah tak percaya.

"Ha ha ha." Mungkin dengan menertawakan diri sendiri. Rasa kecewa dihatinya bisa sedikit menyusut.

Nyatanya tidak. Ia kecewa. Masih.
Sambil meratapi nasib naasnya beberapa jam yang lalu, ia memandang sekeliling. Sebelah kirinya ada laut luas. Di sebelah kanannya ada tebing yang menjulang tinggi dengan pohon-pohon kecil yang tumbuh di sisinya. Jika ia jalan sedikit ke depan, Ia mungkin akan menemukan pantai pasir putih.

Sekarang bukanlah saat yang tepar untuk meratapi nasib naasnya. Setidaknya ia harus menikmati pasir putih dan anak ombak di pantai ini.
Untuk sejenak lupakan soal kisah -kekasih yang selingkuh dengan sahabat-nya.

"Welcome to the beach!" serunya kencang.

♡♡♡

Wahh...
Akhirnya aku bisa post bagian pertama.

Semoga suka sama kisahku yah?!

See you in next untaian. ^_^ ^_^
Jangan lupa shooting star nya!
Komennya juga!

Hehehehehehh

고마워
Makasih
Thankyou
Danke

Warm regard
Me ♡

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JANUARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang