04. T e r c y d u c k

50 20 13
                                    

"Duh gila sumpah gue seneng banget astoge!" Seru Kirana heboh membuat Kalila yang ada diujung sambungan mendengus. "Ada apa emangnya?"

"Inget gak tadi gue cerita tentang pangeran gue?"

"Erm... yang namanya Tama?"

Kirana merespon dengan mengangguk semangat, padahal ia tahu Kalila tak dapat melihatnya. "Gue tadi diantar Kak Tama sampai rumah! Dia ketemu nyokap gue! Ih, La. Apa mungkin besok dia ngelamar gue, ya?" Cerocos Kirana nyaris tanpa spasi, seakan-akan sedang melakukan rap. 

Sumpah, ya. Kirana kalau udah halu kadang gak ngotak! Batin Kalila kesal. Dengan sedikit jengkel, Kalila membalas. "Gak gitu juga kali, Na. Ya kali baru kenal sehari langsung lamaran terus nikah. Dikira wetpet jodoh-jodohan kali, ya."

Kirana mengerjap. Sadar bahwa ucapan Kalila benar. Gadis manis itu menggembungkan pipi. "Iya juga, sih. Mana mungkin baru kenal sehari langsung nikah."

Kalila yang sedaritadi berwajah masam tersenyum, mengira Kirana sudah kembali waras. "Nah, itu tahu."

"Tapi, bukan gak mungkin kalo baru kenal sehari bisa langsung jatuh cinta!" Riang Kirana membuat Kalila menghela nafas gusar. Harusnya ia tahu Kirana tak akan waras secepat itu.

Dasar korban halu. Kalau memang semua pertemuan pertama bisa langsung membuat orang jatuh cinta kepada lawan jenis, maka tak akan ada makhluk bernama 'jomblo' bertebaran di muka bumi ini, termasuk Kalila, Kirana, juga pembaca yang sedang cengar-cengir membaca cerita ini.

"Halu terus sampai mampus." Cibir Kalila membuat bibir Kirana mengerucut. "Cinta pandangan pertama tuh ada, tahu."

"Yang bilang ga ada siapa? Cinta pandangan pertama memang ada tapi kan gak semua orang ngerasain. Cuma sebagian orang doang." Balas Kalila mencoba menyadarkan sahabatnya yang tak pernah berpikiran waras. Tapi, jawaban Kirana justru kembali membuatnya mendengus untuk kesekian kalinya. "Dan gue adalah satu dari sebagian orang itu!"

"Iya, lo aja. Kak Tama-nya mah enggak."

"Lila! Jahat, ih!" Protes Kirana yang berhasil membuat Kalila memutar bola matanya malas. "Bodo ah, Na. Serah."

"Awas aja kalo suatu saat lo jatuh cinta pandangan pertama! Eh, enggak! Gue sumpahin lo bakal kena karma! Lo bakal jatuh cinta pandangan pertama suatu saat nanti! Dan gue pastiin lo ngenes kalo beneran kejadian!" Kesal Kirana bersungut-sungut, memberi sumpah serapah. Tetapi, sumpah itu sama sekali tak membuat Kalila ciut. Sumpah ngenes itu justru membuat semangat Kalila untuk meledek Kirana berkobar. "Apa? Acu dikutuk? Wah, acu tatut cekayi!"

"Kalila! Nama lo aja tuh yang ayu! Lo-nya mah enggak!" Seru Kirana semakin kesal membuat Kalila terkekeh. "Kalila Lituhayu tuh ayu tenan, loh."

"Rana!"

Seseorang memanggil Kirana dari luar kamar. Tentu Kirana mengenali suara itu. Pemilik suara tersebut adalah abangnya, Arlen Arunakara. Kirana menyeringai, teringat bahwa Kalila sempat menyukai abangnya itu. "Eh, La. Abang gue tercinta, tersayang, dan terkasih lagi manggil gue, nih. Bentar, ya."

"Lama juga ga apa-apa, kok."

"Dih! Sok cuek! Padahal lo dulu kepengen jadi kakak ipar gue, kan?!"

"Rese banget sih lo! Apa hubungannya coba?! Udah cepet sana samperin abang lo!"

"Iya deh, Mbak Lituhayu. Hamba menghadap Mas Arlen yang tampan nan teladan idamannya Mbak Lituhayu sebentar, ya."

"Kirana!"

Kirana tertawa puas dengan respon itu. Setelahnya, ia menutup telpon dan menghampiri abangnya yang menunggu di luar kamarnya. Ia dapat melihat Arlen tampak sedatar biasanya.

Kirana menengadahkan tangan, berkedip manja. Arlen menaikkan sebelah alisnya. "Apaan?"

"Ck! Duit ojol tadi, lah! Kan udah janji mau gantiin!" Kesal Kirana pada abangnya itu. Arlen menatap adiknya lekat, "Emang tadi kamu naik ojol?"

"Ya iyalah! Masa naik unicorn---"

"Ki. Ra. Na." Arlen berucap memotong perkataan Kirana dengan penuh penekanan di tiap suku kata membuat Kirana bergidik. Tak perlu dijabarkan pun Kirana paham abangnya sudah tahu ia tak diantar oleh babang ojol berjaket hijau.

"Ngaku deh kamu. Kamu tadi dianterin cowok, kan? Bukan babang ojol?"

"Babang ojol kan juga cowok."

"Kirana, abang serius. Gak usah ngeles. Abang tahu dari Mama kalo kamu diantar cowok."

"E-eh? Apaan sih?!" Kirana gelagapan sendiri, membuat Arlen menghela nafas. Jemari Arlen kini terarah untuk menyentil kening adiknya itu.

"Aw!"

"Kamu tuh masih kecil. Jangan pacaran dulu, deh."

Tak terima dengan ucapan Arlen, Kirana menggembungkan pipinya. "Bang Arlen memang dulu kenal Kak Naila kelas berapa?"

"Kelas sepuluh. Kenapa?"

"Tuh! Abang aja boleh kenapa Rana enggak?!" Protes Kirana, membuat Arlen mengerutkan alisnya. "Abang sama Naila ga pacaran."

"Jadi kenapa dulu kalian deket banget?"

"Memangnya ada aturan cewek ga boleh temenan sama cowok?"

"Terus kenapa sampai dikenalin ke Mama?"

"Temen abang yang lain juga abang kenalin, kan?"

"Yaudah! Rana sama Kak Tama juga cuman temenan!"

"Temenan tapi dianter."

"Abang juga dulu suka anterin Kak Naila!" Protes Kirana yang kini berhasil membuat Arlen terdiam sesaat, walau akhirnya membalas. "Itu karena dia waktu itu udah ga mampu lagi buat kemana-mana sendirian."

Mendengar perkataan lirih abangnya, Kirana menggigit bibir bawahnya sendiri. Seketika ia sadar sudah terlalu jauh membahas Naila. Mengingat Naila bagi Arlen pasti terasa sulit, terlebih lagi karena Naila sudah tiada.

"M-maaf." Cicit Kirana merasa bersalah. Arlen tersenyum kecut. "Gak apa-apa. Pokoknya jangan pacaran dulu. Lagian baru juga satu hari sekolah, masa udah jadian aja? Nanti kamu dikira murahan."

Kirana hanya mengangguk menurut. Ia paham, pasti ada alasan di tiap-tiap larangan abangnya.

Tetapi, bukan Kirana namanya kalau bersikap normal. Dengan senyum riang, ia bertanya. "Berarti kalo udah tengah semester boleh, kan?"

Arlen mengusap wajahnya kasar, terheran-heran kenapa adiknya ini begitu kekeuh ingin pacaran ketika SMA hanya karena termotivasi dari cerita-cerita novel dan wattpad yang ia baca.

Jangan sampai deh dia kepengen nikah muda. Batinnya bergidik ngeri.

"Jadi abang manggil Rana cuma mau bilang itu aja?" Tanya Kirana diangguki Arlen dengan kalem. "Iya. Sama mau ingetin, jangan kelamaan tidurnya. Nanti telat."

Kirana mengangguk, tersenyum manis. "Iya, Rana tidur. Goodnight, Abang!"

"Too."

Kirana menutup pintu rapat, sedangkan Arlen yang masih berdiri tegak disana diam-diam menghela nafas.

Oke. Hari ini mungkin Kirana masih menurut. Tetapi, hari-hari berikutnya bisa saja gadis itu berulah.

Arlen mendadak risau, walau itu tak berlangsung lama karena setelahnya ia mendapat ide.

Tersenyum, ia menganggukkan kepalanya percaya diri.

Baiklah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk melindungi adiknya dari para buaya darat yang jahanam serta menyesatkan.

~♡~

Kalo kalian punya abang kayak Arlen, kalian bakal gimana?

Revisi : 2 Oktober 2020

SasikiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang