Kabar duka menyelimuti keluarga besar Azizie. Dimas Handoyo Azizie mengalami kecelakaan pada saat dirinya melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta.
Kabar tersebut sontak mengejutkan keluarganya yang berada di Yogyakarta. Dian yang sedang mengajar di kelaspun dikejutkan dengan telpon dari rumah sakit di Jakarta.
"Assalamu'alaikum, dengan siapa ya?" tanya Dian saat mengangkat telpon dari pihak rumah sakit.
"Wa'alaikumsalam, kami dari pihak Rumah Sakit Asih Jakarta ingin mengabarkan bahwa Bapak Dimas mengalami kecelakaan. Saat ini masih dalam penanganan tim medis" Tutur pihak rumah sakit.
"A-apa? Ko bisa? Baik saya akan ke sana sekarang juga" Dian langsung memutuskan sambungan telpon dengan pihak rumah sakit.
Tapi sebelum meninggalkan kelas, Dian izin terlebih dahulu pada mahasiswanya.
Perjalanan Yogyakarta-Jakarta tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dian dengan perasaan yang panik luar biasa harus tetap mengabarkan kabar itu pada anak-anaknya.
"Assalamu'alaikum, Bun. Kenapa?" jawab Adam di sebrang sana.
"Adam, cepat jemput Ayana di sekolahnya. Kita harus ke Jakarta" ucap Bunda setenang mungkin.
"Iya nanti Adam jemput adek. Tapi, Bun kita mau apa ke Jakarta?" tanya Adam bingung.
"A-ayah ke-kecelakaan" jawab Dian tersendat-sendat.
Sontak gawai yang dipakai Adam hampir terjatuh karena terkejut.
"Bun, bunda tenang oke. Ayah pasti baik-baik aja. Bunda sekarang di mana?" tanya Adam mencoba menenangkan sang bunda yang bisa didengar dari suaranya mulai panik.
"Bunda lagi di jalan ke Rumah Sakit Asih bersama Fatih. Kamu cepat jemput Ayana dan susul ke Jakarta ya."
"Iya, Adam ke sekolah adek dulu. Bunda tenangin diri dulu ya. Pasti Allah bakal jaga ayah. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
•••
Reyna yang masih menyelesaikan keperluan kelulusan S3 nya di kampus dikejutkan dengan kabar duka.
Dodi sang ayah dikabarkan mengelami kecelakaan, yang kebetulan sang ibu yang senantiasa menemani ayahnya menarik angkutan ketika selesai mengajar di SD.
Tanpa berpikir panjang Reyna segera menuju rumah sakit tempat ayah dan ibunya dibawa.
"Maaf, pasien bernama pak Dodi dan ibu Sastri di ruang berapa?" tanya Reyna tergesa-gesa.
"Bentar ya dicek dulu mbak. Eh ruang 56 dan 57 mbak." Reyna segera berlari tanpa mengucapkan terima kasih.
Satu jam menunggu akhirnya dokter keluar dari ruang 57. Reyna segera menghampiri dokter yang menangani orang tuanya.
"Bagaimana keadaan orang tua saya?" tanya Reyna tanpa bertele-tele. Jujur perasaannya sudah tak bisa dikontrol lagi. Ia ingin cepat mengetahui orang tuanya.
"Mohon maaf mbak, Ibu Sastri tidak bisa diselamatkan. Karena benturannya sangat keras dan ada pecahan kaca yang menusuk jantungnya."
Ucapan dokter itu membuat Reyna seperti kehilangan nyawanya. Ya sang ibu yang selalu menyemangatinya untuk bisa meraih cita-cita kini pergi meninggalkannya. Ibunya yang menaruh harapan besar pada Reyna agar bisa merubah kondisi rumah.
"Do-dokter ga becandakan?" tanyanya dengan mata sengit. Sudah ia tidak bisa lagi bersikap semua akan baik-baik saja. Kehilangan ibunya sama saja kehilangan penyemangat hidupnya.
"Saya mohon maaf. Saya harap kamu ikhlas menerimanya" Dokter itu seakan tau kepedihan yang sedang ditahan Reyna. Ia tersenyum lirih dan memberikan tepukan pelan di pundak Reyna.
Reyna hanya terduduk lemas di kursi tunggu. Setidaknya ia harus tetap kuat untuk sang ayah. Ya, harapannya kini tinggal sang ayah.
Selang 20 menit pintu tempat ayahnya ditangani terbuka.
"Keluarga Pa Dodi?" ucap dokter ketika melihat Reyna sedang melamun dengan air mata yang terus berderai
"A-apa? I-iya saya anaknya. Bagaimana ayah saya?" ucap Reyna ketika kembali dari pikiran kalutnya.
"Allah menyayangi bapak kamu" ucap sang dokter yang berharap Reyna paham maksudnya. Dokter itu merasa bahwa kondisi Reyna sedang tertekan. Sedikit jahat apabila ia mengatakan bapaknya telah meninggal.
"Apa maksudnya?" tanya Reyna dengan perasaan berkecamuk
Dokter itu menghela nafas pelan "maafkan saya"
"Anda bisa tidak menyampaikan dengan cara yang jelas?" sebenarnya Reyna sedikit banyaknya tahu maksud dari sang dokter. Hanya saja ia tak terima dengan kenyataannya. Ia hanya ingin memastikan.
"Bapak kamu telah meninggal" dengan berat hati dokter Ilham menyampaikan kabar itu
Reyna tidak membalas. Ia langsung terduduk dan menatap kedua pintu yang berdampingan dengan nanar. Yaa, di dalam sana orang terpenting dalam hidupnya meninggalkan dia sendiri.
Reyna hanya mampu menekan dadanya, berharap rasa sesak sedikit mereda.
"Ibu... Ayah..." hanya dua kata itu yang keluar dengan sangat lirih dari mulut Reyna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adam Hilmie Azizie
أدب المراهقينPerihal sakit biar jadi rasaku. Aku sadar, aku bukanlah bahagiamu. Bukan rumahmu. Bukan pula tulang rusukmu.