"Jangan langsung pulang,” pinta Norton. “Kamu tahu, cuaca masih buruk di Glasgow, dan kita akhirnya bertemu lagi setelah 3 tahun. Stay here a bit longer, would you?”
Eli, yang sungkan, akhirnya tidak langsung pulang ke London. Dan dia berakhir mengerjakan execution file yang diberikan oleh Aesop itu. Eli sendiri tidak masalah dengan ini. Toh flat tempat Norton dan Naib tinggal jauh lebih layak daripada flatnya di Soho. Mumpung bisa menumpang di rumah yang layak, kenapa tidak dimanfaatkan.
Execution file yang diberikan Aesop berisi data mengenai pegawai yang hilang, dan tersangka. Ternyata kasusnya adalah penyelundupan barang atas nama importir itu. Namun itu bukan dari importirnya. Setidaknya itu yang disimpulkan Eli ketika membandingkan nota kargo dari pelabuhan dan pembukuan perusahaan. Ada beberapa barang yang seharusnya bukan milik importir itu. Jangan-jangan ini penyelundupan narkoba, batin Eli. Melihat data dari tersangka dan pegawai yang hilang, dia memutuskan.
Aku harus mengecek Camden.
Camden terkenal sebagai kota yang penuh dengan transaksi gelap. Dalam artian lain, transaksi narkotika sangatlah umum disini. Bukan hal yang baru bila ada orang yang menawarkan kamu narkoba dengan santainya, hanya bilang “Do you want to buy drugs?”. Dengan terbuka, tanpa terkesan ilegal. Namun ini sudah mulai dibenahi city council Camden, karena ingin mengubah pandangan publik terhadap distrik di London satu ini.
“Nort, ada IPA?” Mendengar itu, Norton langsung melempar sekaleng IPA pada Eli. “Terima kasih.”
“Lemah kalian, semua sukanya pale ale,” ujar Naib sambil menenggak segelas bourbon.
“Naib Subedar, juara satu melanggar perintah Allah,” sentil Norton. “Kapan kamu kapok, hah? Bulan Ramadhan? Masa puasa aja kamu sakaw karena tidak ada suplai alkohol.”
Eli hanya tertawa kecil melihat mereka berdua berargumen tentang alkohol. “Mengetahui cuaca Glasgow seperti ini, menurutku tidak ada salahnya Naib minum alkohol. Ah, tapi kamu muslim ya?”
“Ya, bacot.” Naib kembali menenggak alkohol dari gelasnya. “Aku akan tidur sebentar. Aku tahu kamu datang kesini bukan untuk melihat mantan tentara Nepal dalam keadaan mabuk berat. Kamu datang untuk informasi, detektif.”
“Bagaimana kau bisa tahu-” Eli tercengang mendengarnya.
“Oxbridge. Scotland Yard. Forensik,” sela Naib. “Kebiasaanmu memakai sarung tangan, dan dompetmu yang mencuat dari saku mantel… ada lambang Scotland Yard. Aku sangat familier dengan orang-orang semacam kamu.”
Hening. Seluruh mata mengarah pada Naib, dengan ekspresi tercengang, beku, terkesima dengan apa yang Naib katakan barusan. Terutama Eli, yang mengetahui betul cara berpikir semacam itu, dan tidak menyangka akan menemukannya di dalam pikiran seorang mantan tentara bayaran yang bahkan tidak lulus SMA.
“Kenapa sih kalian ini,” Naib menggaruk-garuk kepalanya. “Aku bukan Sherlock Holmes, dan Norton sudah pernah cerita tentang temannya yang ditendang keluar dari Scotland Yard, namun aku tidak pernah menduga itu kamu. Memangnya apa yang kamu lakukan, Eli, sampai kamu dikeluarkan? Perasaan kamu tidak terlihat seperti orang yang akan melakukan hal bodoh sampai Scotland Yard harus menendangmu.”
Raut muka Eli muram. Momok. Topik ini momok baginya. Kejadian itu seperti kutukan, yang menghancurkan seluruh aspek dalam hidupnya. Kejadian yang tidak ingin dia ungkit. Norton dan Naib menyadari perubahan perilaku Eli, yang membuat mereka khawatir.
“Maafkan aku…” ujar Naib, terbata-bata. “Aku seharusnya tidak perlu mengungkit itu, ya.”
“Tidak apa-apa,” pemuda itu hanya tersenyum pahit. “Aku harus segera pulang ke London.”
“Kamu sudah tahu tujuan penyelidikanmu?” tanya Norton. “Mungkin aku bisa membantu, kau tahu? Aku bisa ikut juga. Sudah lama aku tidak mengunjungi London.”
“Norton, ini masalah pekerjaan, bukan jalan-jalan.” Mengenakan kembali mantelnya, Eli pun keluar dari rumah Norton dan Naib. Kembali ke stasiun, menuju London.
Semuanya diambang kehancuran. Memori yang tidak ingin Eli ingat pun kembali, dan mengusik pikirannya. Rentetan memori itu berjalan secepat kereta api yang membawanya kembali ke London. Hiruk pikuk penumpang terdengar seperti bisikan menyindir di telinganya, sesuatu yang tidak ingin didengar siapapun. Pikirannya melayang ke seluruh penjuru, kekhawatiran, trauma, rasa takut, semuanya kembali menjadi satu. Sampai ada seseorang menyahutnya.
“Permisi tuan, apa kursi ini kosong?”
Eli tersentak dari lamunannya. Tidak dia sadari, ternyata sudah sampai Birmingham. Ternyata yang menanyainya adalah seorang gadis, membawa tongkat. Sepertinya dia dituntun pula oleh seorang pemuda yang seumuran dengannya. “Ah, ya, tentu saja.”
Mereka berdua duduk di seberang Eli, yang merasa sedikit mabuk perjalanan, ditambah dengan fakta bahwa barusan dia melamun tidak jelas. Dan merekalah yang memecahkan gelembung pikiran Eli. Ada hal yang janggal di mata Eli. Sepasang pemuda-pemudi itu diam, tidak mengobrol sekalipun.
“Maafkan saya Tuan,” ujar gadis itu, tanpa memberikan konteks apapun, tiada angin maupun hujan, dia berkata demikian. Seakan-akan dia membaca pikiran sang detektif. “Suasananya jadi canggung, ya?"
“A-ah, tidak apa-apa. Kalian mahasiswa?”
“Ya, di University of London." jawab sang pemuda berambut pirang itu.
"Oh, bukan Oxbridge?"
"Tidak mampu, Tuan," desah gadis itu. "Tuan lulusan Oxford ya?"
"Ya, " Eli tertawa kecil. "Jangan seperti aku, lulusan Oxford tapi tidak punya masa depan. Ah ya aku belum mengenalkan diri. Namaku Eli Clark."
"Helena Adams, dan ini Victor Grantz." Helena menganggukkan kepalanya. "Senang bertemu denganmu, Tuan Clark. "
"Panggil saja Eli."
"Baiklah, Eli," Helena tersenyum simpul.
"Temanmu tidak berbicara sama sekali dari tadi."
"Ah, maafkan saya Tuan," pemuda itu sontak kaget, mendengar dia terpanggil.
"Victor bukan orang yang mudah bersosialisasi," gadis berambut merah itu menepuk punggungnya, berusaha menenangkan. "Dia juga masih baru di Britania Raya, aslinya dari Jerman."
"Begitu," percakapan di kereta itu berlangsung selama 2 jam. Bervariasi dari lebih mengenal satu sama lain, tentang literatur, budaya dan semacamnya. Eli senang bahwa setidaknya ada yang bisa mengusik pikiran negatifnya, mendistraksi dia dari kekhawatirannya. Sampai akhirnya di Stasiun Euston.
"Sampai bertemu lagi, Tuan Clark."
"Sampai jumpa, Adams, Grantz. "
Kembali ke dunia nyata dimana cuaca Inggris tetap buruk seperti biasanya dan keramaian memenuhi stasiun Euston. Luar biasa memang. Eli pergi ke bawah tanah untuk kembali ke Soho melalui the Tube. Dia merasa harus segera beristirahat.
Karena penyelidikan akan dimulai, dan target pertamanya adalah Camden.
***
Maafkeun :")
Gaada yang tahu agamanya Naib, ini hanya sekedar hc. Karena Naib itu nama muslim dan di discord server saya sering canda kalau Naib itu juara satu melanggar perintah Allah-Maaf kalau ternyata bikin tersinggung. (0 7 0;;
KAMU SEDANG MEMBACA
(identity v) inclusion
FanfictionHidup sendiri, soliter. Eli Clark sudah menjalani itu setelah hidupnya hancur, 2 tahun yang lalu. Sampai seorang teman lama menghampiri, dan memberikan kasus baru bagi Eli, sang detektif privat yang menyendiri itu. AU berdasarkan deduction star ski...