"Kamu yakin ini bakal bisa bertahan sampai besok?"
Mereka semua duduk melingkar di meja makan, dengan sup tofu di tengah-tengah meja, untuk makan malam. Semua orang di ruangan itu menuangkannya ke mangkok masing-masing, dan memakannya bersama dengan nasi. Eli, masih belum menghapus make upnya, masih merasa ragu akan keputusan teman dan koleganya.
"Tentu saja tidak. Tampilan ini hanya percobaan. Besok, kamu akan memakai tampilan ini lagi untuk melanjutkan penyelidikan." Balas Aesop sambil mengambil sesendok kuah miso. "Michiko bisa mendandanimu lagi. Aku juga sudah merekam transformasimu, namun aku tahu kamu tidak bisa make up."
"Huh, terima kasih sudah mengingatkan."
***
Viktor Grantz bergegas menuju flatnya.
Sepulang berbelanja dari TESCO, dia memiliki firasat yang tidak enak. Gelagat yang aneh. Kakinya berderap kencang, berharap dengan begini dia akan kembali ke flat secepat mungkin. Asal perasaan khawatirnya hilang. Keramaian tidak membantu. Malah memperparah. Firasat ini seakan-akan ada yang mengintai dia, bersiap membunuhnya. Di antara kerumunan ini, semua mata bisa memandang, dan tidak ada yang tahu siapa yang bisa dipercaya.
Manik madu Victor melihat ada tempat sepi di teras toko yang sudah tutup. Disitu dia mengistirahatkan kakinya yang ringkih, dan duduk. Akhirnya, sebuah tempat dimana dia bisa bernapas lega. Sampai sang kereta hitam itu datang.
Apa yang kereta itu bawa? Seorang penunggang, pria berkulit pucat, dengan rambut putih pucat, mengenakan baju hitam legam. Sang pucat, penunggang kuda keempat kiamat, membawa kematian.
***
Pagi itu, rumah Jack sudah rusuh. Eli memaksa keluar untuk menyelidiki kematian Victor Grantz. Seperti anak kecil, Eli memaksakan diri dan menganggap hal ini penting bagaimanapun juga. Sayangnya, Jack tahu apa yang direncanakan musuh yang tidak diketahui ini. Claude Niepce hanya sebuah pecahan. Masih ada pecahan lain yang belum diketahui.
Dan kematian Victor Grantz hanya umpan untuk menarik sang Detektif kembali ke ranah penyelidikan. Seperti halnya Moriarty menarik senar dibalik kasus untuk menarik Sherlock Holmes masuk. Ketika semua berjalan seperti yang diinginkan lawan anonim ini.
"Aku akan menyelidiki sebagai David Evans! Biarkan aku keluar!" Teriak Eli tepat di muka Jack. "Ini pasti ulah Niepce. Siapa lagi yang akan memecahkannya kalau bukan aku!?"
"Scotland Yard bisa memecahkannya. Aku tidak ingin kamu mengambil resiko-"
"Jack," sela Eli, dengan nada yang serius. "Aku mengenali anak ini. Aku bertemu dengannya di Euston. Terlebih lagi, aku tahu harus menyelidiki mulai dari mana."
"Tentu saja dari TKP," Jack menggelengkan kepalanya.
"Bukan. Gadis itu. Dia kunci kita dalam kasus ini. Michiko, can you do me a favour?"
***
Helena Adams menatap kosong meja kafeteria itu. Nafsu makannya hilang. Tangannya memeluk erat Wick, anjing sepeninggal Victor, yang terlihat sama muramnya setelah mengetahui majikannya meninggal. Air mata menggenang di pelupuk mata Helena. Walaupun buta, Helena tahu. Dia tahu orang yang dia kasihi ini sudah tiada.
Seseorang menepuk bahunya. "Helena Adams, bukan?"
"Tuan Clark? Ada apa anda disini-" ucap Helena, panik, sambil menoleh kanan kiri, dan mengusap air mata di pelupuk matanya.
"Iya ini aku, tapi kumohon, panggil aku David. Atau Dave. Terserah kamu. Aku harus menutup identitasku." Bisik Eli dengan pelan, sedikit kekhawatiran muncul. "Bolehkah aku duduk?"
"Tentu saja," Helena menganggukkan kepalanya. "Jadi, Dave... bagaimana kamu bisa menemukanku di sini?"
Eli mengangkat bahunya. "Kamu bilang kamu mahasiswa University of London. Kamu bilang bahwa kamu tidak mampu, jadi aku yakin kamu ada di kantin karena makanannya lebih terjangkau. Hanya perlu menunggumu keluar dari kelas."
Tawa kecil keluar dari mulut Helena yang mungil. "Otak detektif memang beda, ya..."
"Kamu tahu kenapa aku di sini, kan?"
Gadis itu menghela napas panjang. "Aku tahu, ini pasti mengenai Victor. Aku tidak bersama dengan dia waktu itu."
"Tell me more."
"Baiklah," Helena menarik napas panjang. "Aku dan Victor adalah housemate, bersama dengan mahasiswa lainnya. Malam itu, kami kehabisan beberapa bahan makanan, dan deterjen. Victor pergi ke TESCO untuk membeli kebutuhan kami, namun kamu tahu sendiri, bagaimana itu berakhir. Dia tidak pulang. Malam itu dia memang sempat mengirim SMS, tapi sepertinya pengirimnya bukan Victor sendiri. Karena aku buta, dia selalu mengirimiku voicemail, dan bukan chat biasa..."
"Itu dikirim oleh sang pembunuh! Boleh kubaca?"
Helena mengeluarkan ponselnya. "Do me a favour, David?"
"Sure." Eli mengambil ponsel Helena dan membuka kotak pesannya. Pengirimnya memang dari ponsel Victor Grantz. Namun isinya, memang mencurigakan. Seperti teka-teki yang menyamar menjadi puisi. Eli pun membacanya dengan pelan.
To the Clerk who worships the Elohim.
Raphael's trumpet has been sounded.
For us bring the seal of delicacy to the soul.
The carriage, is one.
But the horses are four, and so are the riders.
They seek the for humanity to come out.
Especially, you, O pious Clerk.
The pale horse is after you.
"Itu, referensi biblikal, ya?" Helena mengernyit. "Unik juga dia menyebut Elohim, bukan Yahweh atau Allah secara umum."
Eli hening sejenak. "Frasa pertama itu. To the Clerk who worships the Elohim. Dia mengirim pesan itu untukku."
"Bagaimana bisa?"
"Clerk. Itu mengarah pada nama belakangku, Clark. Nama keluargaku memang mengarah ke pekerjaan itu, seperti halnya Smith dan semcamnya. Lalu, Elohim. Eli adalah bentuk lain dari Elohim. Kamu belajar literatur, bukan?" Helena mengangguk. "Apa yang diucapkan Yesus pada BapaNya saat Dia disalib?"
"Eli, eli, lama sabakhtani..." Raut muka Helena berubah. Dia terkejut, tentunya. "Eli mengarah pada Tuhan! Sama halnya dengan Elohim!"
"Sisa dari puisi ini mengarah pada Wahyu. Kalimat terakhir itu... dia ingin membunuhku."
"Sang pengirim? Jadi karena itu, kamu menyamar sebagai David Evans."
"Ya... begitulah." Eli hening sejenak setelah itu. Helena bingung ada apa dengan Eli. Desas desus muncul di antara kerumunan. Karena memang, bertampang seperti Eli saat ini hanya bisa menarik perhatian yang lain. "Aku harus pergi sekarang."
"Baiklah," Helena tersenyum pahit. "Titipkan salamku pada Victor."
***
Maaf kalau pendek huhu ini chapternya terasa enak diputus disini jadi yha
untuk kompensasi pendeknya chapter ini, saya persembahkan Eli dandan sebagai David Evans.
uwu
KAMU SEDANG MEMBACA
(identity v) inclusion
FanfictionHidup sendiri, soliter. Eli Clark sudah menjalani itu setelah hidupnya hancur, 2 tahun yang lalu. Sampai seorang teman lama menghampiri, dan memberikan kasus baru bagi Eli, sang detektif privat yang menyendiri itu. AU berdasarkan deduction star ski...