4.0 camden

116 10 11
                                    

Sinar sang fajar masuk melalui celah-celah tirai kamar Eli. Rose tidur di tiangnya, dan pemiliknya masih sedikit hungover dari sesi minum-minum di pub lokal.

"Oke, seharusnya aku tidak perlu berkonsultasi pada Demi, memperparah situasi saja... " gerutu Eli.

Mari kita putar balik waktu untuk konteks. Subuh itu, entah tersambar petir atau bagaimana, Eli memutuskan untuk mencari informasi di pub. Demi, pemilik pub itu, memiliki banyak koneksi, bahkan ke pedagang di pasar gelap sekalipun. Apa yang dia dapat? Terlalu banyak informasi. Mengetahui fakta bahwa pub adalah public house, semua hal bisa terjadi disitu, dan apa yang dia dapat namun informasi trivia yang tidak dia butuhkan. Ini, malah berakhir dengan 5 gelas gin.

"Gobloknya aku, padahal hari ini mulai investigasi." Eli bangkit dari kasurnya, dan meregangkan tubuh. "5 gelas gin terlalu banyak untukku."

Setelah mandi dan cuci muka, beserta sekaleng bir, sang detektif siap melanjutkan penyelidikannya. Hari itu Eli meninggalkan Rose di rumah, karena sampai sekarang Rose belum bangun, kelelahan setelah perjalanan pulang pergi dari London ke Glasgow. Pintu dia kunci, dan Eli mengayunkan langkahnya, untuk tentunya, naik tube ke Camden. Apalah daya taksi disini mahal. Di kerumunan orang yang berdesak-desakan di kereta, Eli melihat sebuah wajah familier. Yang tidak lain adalah klien tercintanya, Aesop Carl.

"Aesop!" sahut Eli. "Berangkat kerja?"

"Bisa dibilang begitu," balas Aesop dengan lirih. "Turun dimana?"

"Camden."

"Ah, ya berarti kamu sudah membuka dokumen itu," Aesop mengangguk-anggukkan kepalanya. "Camden akan selalu menjadi tersangka utama dalam kasus semacam ini ya."

"Tapi dokumen yang kamu berikan... pegawai yang hilang itu dari Camden."

"Ya, tapi tidak hanya itu." raut muka Aesop berubah menjadi lebih serius. "Penyelundupan narkoba."

"Aku tahu."

"Baiklah, aku akan turun di Marylebone," mata abu-abu Aesop menangkap sesuatu di saku Eli. "Kumohon, jangan bunuh siapapun, aku tidak ingin membesar-besarkan masalah ini. Jaga diri." Sebelum Eli bisa membalas apapun, pemuda berambut abu-abu itu sudah hilang di tengah-tengah kerumunan. Tenggelam di lautan manusia.

Setelah transit di beberapa stasiun, Eli sampai di Camden. Distrik yang indah, namun juga meresahkan pengunjungnya. Eli menyusuri sungai, sembari menoleh kanan-kiri, mencari rumah pegawai yang dia cari sekarang Emma Woods. Masih berusia 20 tahun, pegawai part-time. Hidup sendiri, dan tidak memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi dari SMA. Seharusnya flatnya di blok ini, batin Eli sembari mengecek ponselnya berulang kali, memastikan alamatnya benar. Jadi dia memutuskan untuk mengetuk pintunya.

Dan dia disambut oleh seorang pria Perancis. Orang itu masih muda, rambutnya panjang dan dandanannya rapi, terlalu rapi untuk kegiatan sehari-hari. "Ada perlu apa?"

"Apakah benar Emma Woods tinggal disini?"

Pria itu mengernyit. "Ada urusan apa kamu dengan Nona Woods?"

"Saya dari Scotland Yard," Eli mengeluarkan badge lamanya, yang masih berguna untuk menggali informasi. Tidak ada yang mau mengelak pertanyaan dari aparat kepolisian, dan Eli memanfaatkan jabatan lamanya sebaik mungkin. Walau mengingat bagaimana dia gagal membawa memori buruk. "Saya dapat laporan bahwa Nona Woods tidak masuk selama seminggu, tanpa kabar, tanpa surat, dan tidak mengontak satupun dari koleganya."

"Ya, memang," desah pria itu. "Aku memang tidak melihat Emma sejak minggu lalu. Awalnya kukira dia pergi seliweran di rumah temannya atau semacamnya. Namun tidak pulang-pulang."

Kecurigaan muncul di benak Eli, dan dia kembali bertanya. "Kenapa Anda tidak melaporkan kehilangannya?"

"Anak itu bukan tanggung jawabku. Hubunganku dengan Woods hanya sebatas sebagai landlord dan penyewa."

"Bolehkah saya mengecek kamarnya, tuan..."

"Niepce," pria itu tersenyum simpul. "Claude Niepce."

Orang Perancis. Atau setidaknya dari negara yang berbahasa Perancis. Eli, tanpa basa basi menginjakkan kakinya di rumah itu. Sepertinya sang pemilik rumah keberatan ada detektif tidak jelas langsung masuk seenaknya. "Tuan, tolong jangan masuk-" Eli tidak menggubris. "Hei!"

"Tuan Niepce, " nada bicara Eli berubah menjadi serius. "Ini adalah masalah serius. Biarkan aku masuk."

"Aku tidak peduli."

"Tuan, jangan memaksaku untuk melakukan kekerasan, " ancam Eli. Tangan kanannya dia masukkan ke saku, bersiap mengeluarkan pistolnya. Langkah kakinya masih mengayun ke arah tangga, menuju kamar Emma.

"Baiklah, ini kamarnya."

Kamar itu berada di lantai dua. Walau kecil, kondisinya lebih bagus daripada apartemen Eli sendiri. Ada banyak bunga dalam vas, dan barang-barang berserakan. Sangat tidak rapi. Perkakas perkebunan pun terpencar dari sisi ke sisi. Eli hendak membongkar kamar itu, namun ada suatu firasat buruk mencegahnya. 

"Kamu tidak akan aku perbolehkan keluar dari sini," suara pistol diisi terdengar dari belakang sang detektif. "Jatuhkan senjatamu."

"Ha, kamu pelakunya, tuan Niepce?"

"Ada orang yang lebih penting dari aku."

Sebuah organisasi. Begitu.

Eli mendengar suara pelatuk Claude ditarik. Reflek, Eli menghindari peluru itu dengan jongkok. Karena tangannya sudah siap pula, peluru Eli melesat ke perut Claude.

Pria perancis itu terkapar di lantai. Eli berjalan mundur beberapa langkah. Tangannya gemetaran. Tiba-tiba dia teringat akan perkataan Aesop tadi pagi. Eli terkulai lemas, mengetahui apa yang barusan dia lakukan. Aku... membunuhnya?

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. "Scotland Yard! Buka pintunya!" Sebuah suara yang familier. Suara yang tidak ingin Eli dengar sampai akhir hayatnya.

"Hastur?"

"Clark?"

(identity v) inclusionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang