Deretan kode yang Aesop tatap tidak ada bedanya dari hari ke hari. Mengurus server perusahaan dari hari ke hari. Bukan pekerjaan kantor yang lazim, namun masih memerlukan tenaga ahli. Sarung tangan hitamnya dia lepas, dan pria berambut abu-abu itu beranjak dari meja kerjanya. Tangan kanannya gemetar, mengambil gelas kertas untuk diisi dengan kopi panas dari dispenser yang ada di pojok kantor.
"Kamu tidak apa-apa, Aesop?"tanya sekretaris divisi IT, Emily Dyer. "Baru lepas sarung tangan itu, rupanya."
"Aku tidak boleh menggantungkan diri pada sarung tangan itu, Emily," Aesop menyesap kopinya. Riak muncul di permukaan, karena tangannya yang gemetaran. "Dokterku bilang aku masih harus pakai beberapa minggu lagi sih."
"Pasti lelah ya, kerja di depan komputer terus," Emily tersenyum pahit, matanya memancarkan simpati pada rekannya. "Sampai terkena carpal tunnel... semoga cepat sembuh ya?"
"Terima kasih, Emily." Aesop memanfaatkan jam istirahatnya dengan minum kopi sambil menonton TV di lounge.
Sial.
Kopinya nyaris jatuh ke karpet yang mengalasi ruang itu. Aesop segera menenggak kopinya yang masih tersisa, membuang cup nya dan segera memesan Uber. Langkahnya lebar, dan tidak sabar menunggu lift jadi dia turun lewat tangga darurat. Entah apa yang dipikirkan oleh kolega Aesop ketika melihat tingkahnya, yang pasti bukan karena heatstroke karena ini jelas jelas musim gugur.
Jemarinya dengan cepat menelpon Eli. Sakit memang, tapi sekarang Aesop sudah tidak peduli.
"Halo, Aesop?"
"Oi bajingan!" bentak Aesop di luar gedung kantornya. Banyak pejalan kaki sekitar menatap dia dengan aneh. "I swear to god, Eli, oh Eli! Terkenal sekali temanku, jadi buronan Scotland Yard."
Eli kaget mendengarnya. "Bu-buronan? Jadi itu benar... Hastur bajingan."
"Hastur, atasanmu dulu? Ah ya hubungan kalian tidak baik sih ya." cengir Aesop.
"Bukan tidak baik lagi. Aku dendam kesumat sama atasan satu itu." gerutu Eli. "Kamu mau mengunjungiku? Aku sekarang tinggal di rumah Jack."
"Ah, Jack itu? Katanya dia pindah rumah kan? Kirimkan aku alamatnya."
Aesop pun mengambil rute menuju Bloomsbury dari Marylebone. Lewat Tube, tentunya. Tube yang sesak dipenuhi kerumunan manusia, walau katanya tidak sepadat subway New York. Begitu keluar rasanya bisa menghirup udara yang sebenarnya tidak segar-segar amat, namun lebih baik daripada udara di dalam kereta yang pengap.
Baru sadar tidak mengetahui alamat tepatnya Jack yang baru, Aesop pun meminta Eli mengirimkannya. Tidak jauh dari stasiun rupanya. Masih bisa ke sana dengan jalan kaki, setidaknya itu yang dia pikir. Setelah berjalan mondar-mandir selama setengah jam, manik Aesop melihat mobil Volkswagen Beetle biru milik Jack, yang sudah berumur namun tetap sehat walafiat berkat ketelatenan Jack dalam merawat barang-barangnya.
Ketuk.
"Carl!" Sambut Jack. "Mencari Clark?"
"Ya," Aesop berdeham. "Rumahmu sekarang besar ya. Biar ku tebak, sudah lepas status lajang?"
Jack tertawa kecil. "Lebih dari itu. Aku sudah menikah. Clark ada di dalam, dia baru saja sampai di sini. Ikutlah makan malam pula, Carl, it's been a long time."
"Huh, ok. Kamu sudah tahu Eli menjadi buronan, ya?" tanya Jack, sembari mengantar Aesop ke kamar Eli.
"Ya, beritanya dimana mana." Aesop memijat jidatnya. "Aku sudah nasihati dia untuk membunuh, malah ada penembakan... "
"Jadi kamu, kliennya Eli?"
"Mau gimana lagi, Jack?" raut muka Aesop yang sudah muram tambah kusut. "Aku ingin sekali melaporkan ini ke Scotland Yard, namun... Eli butuh kasus baru. Aku ingin melihat binar mata itu lagi, yang penuh rasa ingin tahu, seperti yang dia lakukan saat kuliah. Forensik. Terlebih lagi kondisi ekonominya memburuk karena Hastur keparat."
"Ah ya, dia forensik ya." gumam Jack lirih. Tangannya yang kurus itu mengayun ke pintu. "Clark, ada Carl."
Aesop sekarang ingin sekali bisa menonjok muka Eli dan dirinya sendiri karena kecerobohannya yang luar biasa. Otaknya berpikir keras, bagaimana cara mengeluarkan Eli dari situasi yang seharusnya bukan tanggung jawabnya. Sedari awal, ini merupakan tanggung jawab Aesop.
"Aesop! Akhirnya kamu datang-"
"Sudah cukup basa basinya." Aesop berdeham, raut mukanya masih serius seperti biasanya. "Eli, kamu tahu harus bagaimana sekarang?"
Eli menggelengkan kepalanya. "Yang pasti aku harus bersembunyi selama 2 minggu, agar dinyatakan hilang dari Inggris. Namun... nanti aku tidak bisa beroperasi di luar London."
"Di dalam London pun kamu masih akan dicari. Lebih baik membuat samaran, daripada ketahuan seandainya ada kasus lagi yang berkaitan." Usul Jack. "Ada beberapa wig yang bisa kau pakai, dan aku ada semir rambut, bila kau butuh."
"Sekalian lensa kontak biar beda," cengir Aesop dengan sarkastis.
Suasana di kamar Eli hening, namun tidak mencekam. Lebih tepatnya, mereka semua berpikir, kebingungan. Mencari jalan agar Eli bisa keluar dan melanjutkan penyelidikannya. Menunggu siapa yang akan mengangkat suaranya. Orang pertama yang mengangkat suara adalah detektif kita.
"Bagaimana kalau Aesop yang turun ke lapangan?"
"Eli..." Aesop menghela napas panjang. "Aku masih punya pekerjaan juga. Lebih baik kita mendandanimu agar terlihat berbeda."
"Mari kita buat identitas baru mu. Seperti Operation Mincemeat." Jack menyeringai. "Aku bisa membuat beberapa KTP dan pasport palsu, aku punya beberapa kenalan yang bisa. Kita akan menyusun latar cerita baru, tampilan baru, kepribadian baru, mungkin? Namun aku tahu kamu tidak pandai akting."
"Kalian serius?"
"Deadly serious." suara Jack yang dalam dan serak sekarang benar-benar bernada serius. "Michiko, kita perlu memberi Eli... beberapa makeover."
***
Rambutnya putih, matanya biru. Kulitnya pucat. Dia memakai hoodie dilapisi lagi dengan coat hitam. Celananya jeans, sepatunya sneakers. Bukan mode yang biasa dikenakan Eli Clark. Wajahnya terlihat sangat terganggu dengan cara dia didandani dan rias. Kulitnya yang tidak pernah tersentuh make up, sekarang dikenakan make up tebal dari Michiko dan Aesop.
"Kalian ini..." Eli protes. "Cuma cari alasan untuk main-main ya?"
"Tentu saja tidak." cengir Aesop sambil mengusapkan spons ke wajah Eli, melakukan blending dan contouring di wajahnya. "Dandananmu terlalu kuno sih, aku pikir bila kamu berdandan lebih modern dan tidak seperti pria yang baru keluar dari mesin waktu, tahun 1830, Scotland Yard pun tidak akan sadar kalau kamu ini Eli Clark."
Benar juga, batin Eli. Dia pun hanya membalas dengan mengangguk-angguk. Sementara Aesop dan Michiko mendandani Eli, Jack menyalakan TV dan duduk santai di sofa, sambil membaca The Times. Channel yang diputar juga BBC. Best Best Content.
"Sudah. Sekarang lihat dirimu di cermin." Michiko membereskan make up boxnya, dan mengesampingkannya agar Eli bisa berkaca dengan benar.
"Nah, sekarang, identitas apa yang kamu ambil Eli? Apa nama yang kau berikan untuk identitas baru ini?" Tanya Aesop.
Eli berdiri dari kursinya, menatap dirinya yang ada di kaca dengan penuh selidik. Di mata Eli, diri yang dia lihat di kaca ini bukan dia. Seperti orang lain. Pemuda di kaca itu modern, memiliki fashion sense, sosialita, ekstrovert. Memiliki sedikit wibawa juga, sebenarnya.
"I'll go with David Evans."
KAMU SEDANG MEMBACA
(identity v) inclusion
FanfictionHidup sendiri, soliter. Eli Clark sudah menjalani itu setelah hidupnya hancur, 2 tahun yang lalu. Sampai seorang teman lama menghampiri, dan memberikan kasus baru bagi Eli, sang detektif privat yang menyendiri itu. AU berdasarkan deduction star ski...