Berkat usulan dari papanya, Dian kini telah berdiri tegap didepan pintu rumah Darwis. Tak lupa pula, setangkai bunga mawar digenggaman tangan kanannya.
Berada dirumah Darwis, rasanya Dian segar sekali. Dikelilingi berbagai macam jenis bunga, hingga tampak lebih indahlah rumah Darwis dipandang dan juga terasa sangat nyaman.
“Kok sepi, apa tak ada orang?”celetuk Dian, mengedarkan tatapannya keseluruh sudut rumah Darwis.
“Tapi ada moto-
Eh motor siapa ya?”
Dian keheranan, sejak kapan Darwis membeli motor? Dan yang lebih mengherankan lagi, motor besar. Bisa diperkirakan oleh Dian, kaki pendek Darwis tak akan sampai menapaki bumi jika menaiki motor tersebut.
Tangannya melayang, menggapai permukaan pintu lalu mengetuknya.
“Permisi, Bian? Saya datang”
Terdengar ketukan alas kaki bergesekan dengan kerasnya lantai, Dian mempersiapkan diri untuk menyambut Darwis. Namun, yang membuka malah pembantunya.
Oowoo, kasihan Dian.
“Eh, mas Abdi”
“Iya, embak. Bian ada?”
“Dek Darwis, ada kok. Hayo masuk mas”
Dian masuk, mengikuti pembantu rumah Darwis. Bunga yang digenggamannya ia elus lembut, tak sabar melihat wajah sumeringah Darwis ketika ia berikan bunga tersebut.
“Dek Darwis ada dikamarnya mas”
Setelah berucap terima kasih, Dian melangkah menaiki satu persatu anakan tangga. Memperhatikan kembali bunga berserta vas kecil yang menampungnya. Cantik seperti Darwis, tapi-
Saat sampai dilantai atas, vas itu lepas dari tangannya. Vas yang terbuat dari kaca tersebut telah pecah berhamburan saat membentur keramik.
©_Moondh, 2020-02-05
KAMU SEDANG MEMBACA
Pudar?✓
Fanfiction"Darwis kok, sekarang agak lambat sih balas pesan saya?"gumam Dian, seraya menopang dagu diatas meja belajarnya. Teringat akan Darwis sipujaan hati, buat Dian berpikir. Apakah ada orang lain, selain Dian? Entah. Siapa yang tahu? 🔸02 februari 2020 �...