Padahal Darwis baru saja membuka pintu, dan badannya langsung diterjang oleh pelukan erat Dian.
“Bian mana yang sakit? Biar saya obati”
“Disini? Disini? Bian sudah makan? Sudah minum obat? Kenapa belum tidur?”pertanyaan yang keluar dari mulut Dian tak Darwis jawab satupun.
“Oh, atau Bian mau bunga? Yang banyak? Saya akan belikan”
Pipinya ditangkup, seluruh badannya diraba oleh Dian. Air mata Dian bercampur peluh kian menetes, bajunya ikut basah ketika Dian memeluknya begitu erat dengan rapalan kata maaf yang tak henti terucap.
“Ano kehujanan? Kenapa larut kesini? Nanti Ano sakit”Darwis menyugar rambut Dian pelan.
Dian menggeleng,“saya gak sakit Bian”pipinya diusap lembut oleh Dian,“yang sakit kan Bian”
Cup
Dian beri kecupan dipipi kanan Darwis. Bahkan mereka masih didepan pintu. Syukurnya sekarang sudah tengah malam, para tetangga telah lelap tertidur.
“Maafin saya ya Bian, saya mau kok dengarkan penjelasan Bian”ujar Dian dengan menatap mata Darwis.
Darwis mengangguk mantap,“Saya bakal cerita, tapi Ano hangatkan badan dulu ya”setelah itu, Darwis menarik tangan Dian menuju kamarnya.
“Sebentar”Dian menahan pergerakan Darwis didepannya, kemudian menggendong Darwis dengan gaya bridal.
Dian melihat itu, melihat bagaimana kaki kecil Darwis berjalan terpincang pincang.
Dasar, Dian buta ya? Kenapa baru sadar kalau kaki Darwis waktu itu sedang sakit.
©_Moond, 2020-02-08
KAMU SEDANG MEMBACA
Pudar?✓
Fanfiction"Darwis kok, sekarang agak lambat sih balas pesan saya?"gumam Dian, seraya menopang dagu diatas meja belajarnya. Teringat akan Darwis sipujaan hati, buat Dian berpikir. Apakah ada orang lain, selain Dian? Entah. Siapa yang tahu? 🔸02 februari 2020 �...