Biarlah dikata lebay, alay, dan sebagainya. Dian tak peduli, dia juga manusia. Memiliki perasaan sama seperti manusia lainnya, sakit itu jangan dipendam sendiri nanti jatuhnya malah stress. Tapi Dian mau bercerita pada siapa? Mama? Papa? Ishh itu memalukan eoh.
Sepulang dari rumah Darwis, Dian berkurung dikamar. Ayo, Dian sedang sesegukan kawan. Matanya sudah membengkak sedikit, panggilan demi panggilan juga berpuluh puluh chat dari Darwis tak Dian hiraukan.
Rupanya masih sakit, padahal Dian belum mendengar penjelasan Darwis. Dia hanya menyimpulkan sesuatunya sendiri.
Nakas dan dinding, dipenuhi dengan potret Darwis. Potret saat Darwis tidur juga terpajang disana, Dian tatapi satu persatu.
Oh, dan juga sarung bantal dan sprei itu adalah gambar wajah Darwis. Cihhh, ternyata secinta itu Dian terhadap Darwis. Utututu~ makanya rasa kecewanya belum juga reda hingga saat ini, Dian ayo semangat!
Sebenarnya Dian tak ingin meninggalkan Darwis waktu kemarin, tapi karena sudah terlalu kesal Dian jadi lupa berpikir.
“Bian~ maaf ya. Beri Ano waktu untuk sendiri”gumamnya sembari menatap ponselnya yang berdering, menampilkan nama Bian dengan emot double love beserta foto Darwis yang tersenyum lebar.
Membaringkan diri dikasur, berposisi miring dengan figura berisi foto dirinya bersama Darwis saling menatap.
“Ano belum siap, kalau Bian tinggalin”
“Gak mau, Ano gak mau Bian tinggal karena orang lain”
“Pokoknya Bian cuma buat Ano, bukan yang lain. Ano marah ya, kalau benar ada orang lain yang Bian suka apalagi cinta”Dian menggeleng ribut mendengar punuturan akhirnya.
Melanjutkan kalimat yang Dian pendam pada potret tersebut hingga terlelap.
©_Moondh, 2020-02-05
KAMU SEDANG MEMBACA
Pudar?✓
Fanfiction"Darwis kok, sekarang agak lambat sih balas pesan saya?"gumam Dian, seraya menopang dagu diatas meja belajarnya. Teringat akan Darwis sipujaan hati, buat Dian berpikir. Apakah ada orang lain, selain Dian? Entah. Siapa yang tahu? 🔸02 februari 2020 �...