1. Suasana itu

62 6 3
                                    

Pagi seiring dengan sinar matahari yang memang mulai memasuki celah korden kamarku. Seperti biasa, sapuan tipis tangannya membuat gue mau tak mau lebih memaksakan diri untuk bangun.

"Alyra, sudah ibu bilang. Kebiasaanmu bangun siang seperti ini tidak akan menjadikanmu rajin nak. Cepat bersiap dan turun untuk sarapan."

Lagi, tidak bisa kubantah perkataannya ketika dia memanggil dirinya sendiri sebagai ibu. Seakan memang ia mendapatkan peran itu di dunia ini. Dan lagi, nama mutlak itu disebutkan. Diam- diam memang menjadi kekesalan tersendiri bagi gue kala dia memanggilku dengan nama buatannya itu.

"Nanti Lyra turun, ibu tolong keluar dulu ya."
"Iya, cepat bergegas ya sayang."

Tanpa bersusah payah menyibakkan selimut, gue lebih memilih untuk menutup mata. Merasakan bahwa hari ini baik- baik saja, atau lebih tepatnya mengharapkan bukan merasakan. Lima menit cukup dengan angan- angan 'baik- baik aja' mau gak mau gue harus beranjak dari kasur untuk sekedar menjalani rutinitas pagi itu. Setelah merasa cukup dengan semua keperluan, gue melangkah menuruni tangga pelan agar manusia yang menetap di rumah ini setidaknya tidak akan terusik. Tapi nyatanya wanita yang mengklaim dirinya sebagai ibu gue sudah menangkapku dan tersenyum seakan penuh dengan kasih sayang.

"Lyra, ayo duduk dong. Sini sarapan dulu." sapanya yang terdengar hangat
"Loh, kamu bukannya jam pertama ada pelajaran olahraga? Kenapa pake seragam putih abu-abu?" Tanya pria paruh baya yang umurnya sekisar 46 tahun, dan gue sedikit tersenyum miris mengakui bahwa dia adalah ayahku.

"Iya, hari ini Lyra agak meriang. Mungkin nanti baringan aja di UKS. Lagian inikan hari Senin." kataku berusaha sopan
"Loh? Udah minum obat belum? Ayah telfon sekolah kamu aja ya biar diizinin."
"Gausah yah, kalo di rumah aku lebih risih. Sendirian ga akan bikin aku sembuh dari meriang." Entah apa efek ucapan gue bagi mereka, tapi mereka sama- sama terdiam dengan waktu yang cukup lama. Tidak terasa nasi goreng di piringku sudah tak tersisa. Tak menunggu adanya pembicaraan lebih lanjut, gue tetap berdiri dan mengulurkan tangan kanan yang nyatanya tak kunjung digapai.

"Ehm, Lyra duduk sebentar ya. Ayah mau ngomong." Ujar ibuku, wow apa ini? Apa ibu kembali menjadi juru bicara ayah?
"Apa yah? Kayaknya Lyra udah hampir telat kalau nungguin angkot."

"Lyra bareng ayah ya nak, duduk dulu ayah mau bicara bentar. Ayah gak mau basa- basi karena ayah tau putri ayah hampir telat." Ada deheman yang membuat kalimatnya terpotong.

"Lyra, so sad and difficult to said about it. Tapi ayah harus bilang apapun itu resikonya, ayah sama ibu mau pindah ke Solo. Mengingat peluang bisnis ayah lebih baik di sana, dan kami bisa mengurus nenek yang keadaannya sudah tua. Lyra mau tinggal di sini atau ikut pindah nak?" Bisa kulihat tatapan sendu itu, gue tau ayah hampir meneteskan air mata. Entah karena apa, gue tau itu bukan alasan yang benar untuk pindah. Disana ada budhe yang mengurus nenek, jika di Jakarta aja gue kesepian, lalu bagaimana dengan Solo?

"Maaf yah, Bu. Tapi Lyra gabisa buat pindah, kalau Lyra menetap disini dimana Lyra tinggal?"
"Ibu memang salah nak, gak seharusnya ibu berharap kalau kamu mau pindah ke Solo. Tapi saat itu ibu dan ayah sangat optimis kalau kamu mau ikut kami sebagai orangtua. Ayah sudah menjual rumah ini, lalu gimana sama panti asuhan, nak?"

Setetes air mataku luruh perlahan. Ini jauh lebih menyakitkan dari pada ribuan orang yang menangis ketika mendapat angka nol di nilai ujian semesternya. Jauh lebih menyakitkan dari apa yang gue kira, jauh menyakitkan dari beban yang gue pikul kala tak melihat orangtuaku di rumah menyambutku saat pulang sekolah. Mereka memulai lagi, gue tau. Bisnis memang incaran utama. Berpegang pada kalimat 'demi Lyra kami bekerja keras nak, tolong mengerti'. Anak mana yang tidak sedih kala orangtuanya berbicara semi formal atau bahkan terkesan formal? Mereka keluarga atau rekan bisnis? Atau mungkin orang asing? Demi apapun, kalimat itu membuat gue yakin bahwa mereka berkata begitu karena dengan kalimat itu mereka yakin aku takkan kecewa dan akan membiarkan mereka pergi bekerja bersama, berangkat pagi setelah sarapan dan pulang larut malam menjelang pagi lagi.

"Terserah ibu sama ayah deh, Lyra seneng kok dititipin di panti. Yang penting ga pindah aja, hehe." Ucapku sambil berusaha terlihat terkekeh dan tidak kecewa.

Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa gue kecewa amat mendalam. Melihat kedua orangtuaku yang tersenyum puas membuat gue lebih sakit. Sesak dalam dadaku perlahan muncul, namun tidak menghilangkan senyuman palsuku. Memang mungkin ini adalah jalan kehidupan yang harus gue tempuh. Mengingat gue datang dengan Kuasa yang di atas dan akan kembali kepada- Nya suatu saat nanti. Gue gak boleh sedih berkepanjangan, ada Tuhan di sisiku.

"Yaudah, Lyra berangkat ya bu, yah. Assalamualaikum." Pamitku sambil mengambil secara bergantian tangan kanan mereka. Dan mulai berjalan menuju pintu utama, pintu yang tak lama lagi berubah menjadi milik orang lain.

Tanpa mereka sadari, satu lagi kerapuhan yang harus gue terima dan hadapi. Satu lagi kekecewaan dan kesedihan yang harus gue pikul. Dan satu hal yang ternyata dilupakan seorang ayah, sudah kubayangkan bagaimana rasanya semobil dengan ayah. Se-udara dengan ayah, berbagi cerita dengannya walau diselimuti kecanggungan. Runtuh seketika dengan adanya kalimat patuh yang keluar dari mulutku, namun berefek besar pada kedua orangtuaku.

Notes:Apapun itu, semua akan kembali pada Tuhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Notes:
Apapun itu, semua akan kembali pada Tuhan. Terimakasih telah membaca dan lagi, semoga enjoy ya-!

-Eshalina Altair

What a Roleplayer? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang