5. Ratih Asih

17 3 4
                                    

Sejenak kupandang langit dari celah korden kamarku. Ternyata langit memang seindah itu, entah dimana gue sebenarnya berpijak. Sampai-sampai pada detik ini masih sangat lamban berpikir kenapa baru menyadari betapa hebatnya ciptaan Tuhan.

Tatapanku beralih pada meja bulat berukuran besar di sudut kamarku, sekilas memang banyak kenangan yang menghampiri. Dimana dulu gue begadang lihat drama korea yang baru booming, ngerjain tugas sampai tengah malam, bahkan kenangan masa kecil yang benar-benar terasa membahagiakan.

Sejak kecil mungkin gue udah berpikir mandiri atau mungkin sendiri. Masih kuingat bagaimana marahnya ayah ketika raket bulutangkisnya kupatahkan, melihat ibu yang berpura- pura cuek ketika memergokiku belum tertidur di tengah malam, atau bagaimana marahnya gue ketika kedua orangtuaku mengawasiku belajar.

Gue lebih senang saat mereka lebih terlihat percaya padaku, bagaimana tekadku belajar dulu membuatku semakin enggan mereka temani ketika membuka lembaran buku berisi ilmu itu.

Namun ketika saat ini mereka melakukannya, semua nampak berbeda. Bukan tentang kepercayaan, tapi lebih ke perhatian yang hilang. Entah bagaimana pikiran mereka, gue gak mau terlalu memikirkan. Kurasa mereka lebih asik kepada dunia pekerjaan mereka.

Mungkin jika ibuku memang seorang wanita karir, gue akan sedikit memaklumi. Namun dengan keadaan Beliau yang memang tidak bekerja membuat gue semakin muak. Gue lebih suka mengambil kesimpulan bahwa ibu selalu mengekori ayah ketika bekerja dari pada membantu ayah.

Bahkan ibu masih sempat mengunggah kebersamaannya dengan ayah di media sosial layaknya traveling yang tiada hentinya. Oh ayolah, ini bukan perihal iri karena tak diajak, tapi waktu yang tersita denganku membuat gue semakin hari semakin malas untuk menanggapi.

Kini giliran kasur empuk yang kupandang, dari kursi sebelah jendela kamar gue beranjak ke atas kasurku. Kasur yang selalu kurindukan kala pelajaran sejarah berlangsung ataupun pelajaran fisika peminatan dimulai, kenangan sesi curhat bersama Ega kala dia sedang menginap di rumahku.

Ya, rumahku.

Yang nyatanya beberapa hari lagi akan menjadi milik orang lain. Ingin rasanya gue berbagi cerita ke Ega, tapi gue tidak bisa. Sudah lebih dari ratusan cerita yang kubagi dengannya. Tentang keluh kesahku dimana pun gue berada termasuk rumah sendiri.

Mungkin perlahan rahasia ini akan terungkap, mengingat setidaknya sekali dalam sebulan dia menginap di rumahku dan akan menjadi tidak pernah menginap.

Sedikit terbelesit di pikiran gue bagaimana keadaan panti asuhan? Apakah memang seburuk apa yang dikatakan orang? Atau sebaik yang diceritakan para ulama di pengajian?
Satu pertanyaan di pikiran gue adalah apa bisa gue beradaptasi baik dengan pihak panti? Dengan orang yang mungkin akan disebut keluarga baru gue?

Bertumpuk- tumpuk pemikiran itu membuat air mataku luruh perlahan dan menjadi isakan kecil yang tertahan.

Bertumpuk- tumpuk pemikiran itu membuat air mataku luruh perlahan dan menjadi isakan kecil yang tertahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

What a Roleplayer? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang