3. Kok songong?

21 6 6
                                    

Seperti yang dikatakan banyak orang, gue pun mengalami. Banyak orang bilang detik demi detik berlalu, hari demi hari semakin terasa cepat. Entah petunjuk apa ini, gue tidak bisa mengelak ketika itu juga hinggap di pikiranku dan tak bisa gue bantah.

Tak terasa hari Senin telah berlalu dan begitu juga dengan hari berikut- berikutnya.

Kamis.

Tak ada yang spesial dengan hari- hari kemarin, seperti biasa kesepian selalu mendominasi hidupku. Entah bagaimana gue mendeskripsikan hidup gue agar lebih menarik, namun nyatanya memang tak ada yang menarik hingga detik ini. H-2 ini seharusnya memang kumanfaatkan dengan baik terhadap kedua orangtuaku. Berlaku layaknya anak sebenarnya, menguras kolam bersama ayah, berbelanja dengan ibu, memasak bersama. Bahkan walaupun tak harus membeli suatu barangpun gue mungkin akan sangat bahagia. Judul shopping bersama ibu seperti yang dilakukan kebanyakan teman perempuanku mungkin akan gue ganti menjadi Windows Shopping bersama ibu. Melihat hal yang menarik, menghampiri, berkomentar, melihat harga tanpa ada niatan untuk membeli. Mungkin akan lebih menyenangkan.

Namun nyatanya mereka memilih untuk berkemas selama mungkin, entah berkemas macam apa yang mereka lakukan. Tentu saja gue juga berkemas, mengemasi semua barang yang semula tertata rapi di kamarku. Entah akan bagaimana keadaan gue setelah ini, hanya saja gue berharap keadaan akan lebih baik. Toh ada atau tidaknya orangtuaku juga sama saja rasanya.

Kali ini gue memilih duduk di bangku milik Ega, bangku kedua pojok kanan dari meja guru. Dekat jendela adalah pilihanku kali ini, gue pengen merasakan sesuatu yang sedikit berbeda. Melihat lapangan yang seperti ditaburi manusia yang berlarian kesana kemari mengejar bola, menatap koridor yang sepi ketika jam pelajaran berlangsung, dan mengamati langit. Gue gak tau sejak kapan itu menjadi hobi baruku, menatap langit. Sejak kali pertama menatap langit di balkon kamarku, gue baru menyadari betapa indahnya ciptaan Tuhan.

Gue menatap langit miris, apa langit sama kayak gue? Sama- sama sendiri ketika terang dan bersama saat gelap walaupun berjauhan. Disaat gelap setidaknya langit masih punya bulan dan bintang yang melengkapi. Tapi gue?

Tidak seperti temanku, jika gue sedang terang justru gue akan sendirian. Hal itu terbukti juga ketika gue mendapat nilai terbaik di kelas, pada umumnya mereka akan menghampiri dan menanyakan apapun termasuk materi yang mereka tak paham. Namun gue berbeda, gue merasa mereka lebih menjauhiku. Tentu saja kecuali sahabat gue, Ega. Ketika gue gelap, masalah melanda dengan deras seperti kucuran air hujan yang datang dari langit. Mereka datang, orangtuaku dan tentu saja Ega. Namun gue merasa kita berjalan masing-masing. Gue mengerti apa yang dirasakan Ega, dia merasa tidak berhak ikut campur terlalu dalam. Namun orangtuaku juga tak berniat membantu atau bahkan memberi solusi. Mereka hanya diam seraya sesekali berkata 'sabar ya Lyra'. Sungguh gue tidak apa jika tak diperhatikan, namun di dalam lubuk hatiku egoku menyerang. Menentang bahwa gue baik-baik saja.

Manik mataku menangkap seorang pria dengan seragam batik sama sepertiku dan bet kelas yang ternyata orang itu berada satu tingkat di atasku. Entah mengapa tatapan gue terkunci padanya, tidak kuketahui apa yang menarik darinya. Oh ayolah ini bukan cerita fiksi tentang pandangan pertama atau film kisah nyata yang bagi gue seperti dongeng itu.

Tanpa sadar dia menatap ke arah gue dengan pandangan yang, meremehkan? Wah apa- apaan ini, bisa- bisanya tatapan itu dilayangkan kepadaku yang notabenenya tidak sengaja melihat ke arahnya? Tanpa menunggu apapun dan sebelum tatapannya makin membuatku dengki, gue segera memutus tatapan itu. Dasar kakak kelas tidak waras. Udah kelas 12 kan harusnya belajar, ini malah kelayapan. Eh, memangnya apa peduli dan urusan gue?

"Lyr, kalau lo gamau denger Bu Dita ceramah setidaknya jangan liat jendela terus kek. Ntar ke gep mampus lo."
Dan tanpa sadar, ternyata gue melupakan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang entah sedang berceramah apa di depan

"Iya, Ga. Itu orang siapa si, masa ngeliatin gue tatapannya songong abis."
"Emang siapa?" Tanya Ega

"Gatau, ga jelas banget. Ntar kalo ketemu gue kasih tau deh." Jawabku sambil berusaha fokus ke penjelasan Bu Dita. Namun entah mengapa Bu Dita malah berjalan ke arah bangkuku dan Ega. Membuat Ega yang tadinya masih melihat ke arah jendela menjadi gelagapan.

"Ega kenapa melamun? Butuh refreshing ya? Mau bantu ibu?" Tanya Bu Dita lembut, mungkin Beliau  memang seseorang yang lemah lembut. Gue menangkap maksud dari permintaan tolongnya yang mungkin bisa dijadikan arti sebagai hukuman

"Ehm, maaf Bu. Tadi Ega menegur saya karna kurang fokus, hehe." Ucapku final
"Yasudah, Lyra dan Ega tolong ambil Buku Kerja Siswa di koperasi ya?"

"Iya Bu, Saya sama Lyra permisi dulu. Maaf tadi kurang fokus hehe."
"Iya, cepat ya."

Berjalan di koridor yang sepi bersama Ega cukup menjadi hukuman yang bagus. Karena suasana seperti ini gue bisa merasakan bagaimana arti sepi yang sesungguhnya, sepi karena memang tak ada orang selain gue dan Ega. Gue juga lebih leluasa melihat ke arah lapangan, yang ternyata sudah berganti ke pertandingan Bola Voli dengan pertandingan Bola Sepak pada sebelumnya.

Cukup tujuh menit gue dan Ega berjalan menuju Koperasi hingga pintu ruangan itu sudah bisa kami lihat. Tanpa melihat ke dalam koperasi gue langsung menarik Ega tepat di belakang seseorang yang rupanya juga mengantri mengambil Buku Kerja Siswa. Dan tiba saat pria itu menoleh, gue menganga lebar sambil menahan napas.

"Loh, inikan orang yang songong tadi?" Ucapku lirih tanpa menyadari raut kebingungan di wajah Ega

"Loh, inikan orang yang songong tadi?" Ucapku lirih tanpa menyadari raut kebingungan di wajah Ega

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Notes:
Sudah cukupkah waktumu merasa kesepian? Jika sudah, coba lihat sekelilingmu dan rasakan apa itu kehangatan. Aku harap kalian tidak bosan dengan gaya menulisku yang baru, ya.

-Eshalina Altair

What a Roleplayer? (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang