Tumbuh

13 2 0
                                    

"He ... He ... Herii," katanya menjawab tanyaku. Dengan badan yang bergetar hebat. Mungkin ia baru pertama kali berkenalam dengan seorang wanita. Pikirku.

Kami lantas berkenalan di kedai kopi milik Heri. Aku juga mengajak Lina untuk nongkrong di sana. Tempatnya lumayan nyaman untuk anak muda. Dengan design interior yang bagus, dan didukung oleh musik-musik masa kini, semakin menambah keindahan kedai kopi ini. Aku sudah lama tidak duduk di warung kopi, terakhir kali sewaktu SMA kelas 12.

...

"Mau mesen apa lagi nih?" tanya Rey.

"Hem .... Cappucino susu satu ya," ucap Lina.

"Kalo aku Black Coffe aja, Rey," pintaku. Kulihat Heri masih terdiam dan hanya bisa sesekali mencuri pandang padaku.

Lucu memang, kami satu jurusan dan satu kelas, tetapi baru bisa berkenalan saat ini. Aku terus tersenyum pada Heri ketika ia mencuri pandang padaku. Heri yang melihatnya, semakin membuat dirinya bergetar. Lelaki dengan perawakan yang tidak terlalu ganteng tetapi enak jika dipandang.

...

Aku dan Heri berjanji untuk bertemu di alun-alun kota. Seperti biasa, aku menunggu angkutan di halte tempatku biasa menunggu angkutan. Setelah satu jam berlalu, aku belum mendapatkan angkutan menuju ke sana. Aku jadi tidak enak dengan Heri. Kurasa aku sudah telat satu jam dari janji kami sebelumnya. Hari kian sore, matahari mulai menampakkan keelokan bewarna jingga. Akhirnya aku memutuskan untuk naik ojek online saja.

Macet, bising, dan penuh sesak. Gambaran kotaku saat ini. Dengan hiruk pikuk kendaraan. Aku terjebak macat. Kurasa aku sudah telat satu setengah jam. Hari sudah semakin sore. Untung saja Heri tidak marah setelah kupastikan dirinya melalui gawaiku.

...

Kami pun bertemu di alun-alun. Ia sangat keren, dengan kemeja flanel, celana kargo, serta rambutnya yang ikal itu. Ia adalah orang yang kukenal mahir memainkan kamera. Itulah tujuan kami bertemu, ia ingin mengajariku tentang fotografi. Sungguh pengalaman baru. Walaupun aku juga sering hunting, tapi ia ingin membawaku kepada imajinasiku kembali. Tentunya dengan kamera miliknya.

...

Kami berjalan di alun-alun, dengan kamera yang sudah siap di tangannya. Ia memotret aktivitas masyarakat, sunset, dan suasana-suasana yang dianggapnya unik.

"Eh minum dulu, yuk," ajaknya.

"Hem ... Yaudah ayok. Aku juga udah haus," jawabku.

"Buk, air mineral dua!"

Aku hanya dapat memandangnya. Lelaki pemalu yang pernah kukenal ini. Dengan sikap pemalunya, ia bisa sepercaya diri ini dalam melakukan fotografi.

"Nih, minum dulu," pintanya.

"Makasih," ucapku tersenyum.

Lagi-lagi, melihat senyumku, ia hanya bisa terdiam dan bergetar. Tapi tidak seperti kemarin, kali ini ia lebih menampakkan wibawanya sebagai seorang lelaki.

"Ohiya, aku lupa. Kau suka fotografi sejak kapan?" tanyaku.

"Sejak sekolah menengah, tapi ya gitu. Otodidak hehe," jawabnya.

"Jadi kenapa suka fotografi? Kan kau pemalu," tanyaku sambil menatap matanya. Ia yang mendengar ucapanku tiba-tiba menyemburkan air yang telah diminumnya itu.

"Kok nanya gitu? Hemm ... Aku sih bukan pemalu, tapi emang kalo sama orang yang buatku penasaran, sikapku begini," jawabnya dengan tersenyum. Lagi-lagi, ia menatapku. Tatapan penuh makna. "Fotografi itu menurutku keren, kita bisa mengabadikan setiap momen melalui foto. Bukan hanya momen, tapi juga sebuah cerita. Cerita dalam foto bisa membuat kita menjadi semakin hidup. Dan, fotografi juga hobi yang mahal. Karena untuk menangkap sebuah momen, kita butuh imajinasi, butuh skill, butuh kecepatan dan ketepatan..." jawabnya dengan penuh semangat.

Aku hanya bisa menyimak. Aku mulai kagum dengannya. Ternyata dibalik dirinya, tersimpan sesuatu yang luar biasa.

"Ohiya, kau kenapa mau kuajak ke sini? Kan kita baru kenal?" tanyanya balik.

"Ya .... Gapapa, mungkin karna kau baik. Jadi aku mau," jawabku sambil menatapnya.

"Haha, aku baik? Kalo aku jahat, kau gamau?" tanyanya lagi.

"Haha, kalo itu kita liat nanti. Kalo jahatnya ke penjahat, aku mah seneng. Kalo jahatnya ke aku, baru aku gamau," jawabku sambil tertawa.

Kami terus berbincang sampai larut. Setelah solat magrib kami melanjutkan obrolan kami. Ada rasa yang tiba-tiba muncul. Aku tidak tahu rasa apa ini. Rasanya aku sangat senang malam ini. Nyaman rasanya. Kuharap tidak terlalu cepat kulabuhkan hatiku. Tapi, aku tak bisa melawannya. Semoga saja ini tak salah.

....

Perlahan, semua yang datang dulu, akan menghilang. Akan digantikan sesuatu yang baru. Kukira rasaku tak pernah tumbuh kembali. Nyatanya, aku merasakan hal yang berbeda dengan orang yang berbeda. Rasa memang tak bisa dipaksa.

Kisah PelikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang