Terjebak Rasa

11 3 0
                                    

Hari semakin sore. Heri yang masih duduk menunggu kedatangan Ninik menghadap ke langit, berharap ia mampu berbincang dengannya. Ada rasa ragu dan malu dalam hatinya. Sambil menunggu kedatangan Ninik, ia mengambil kameranya yang selalu dibawanya ke mana saja. Kamera yang menemani hobinya selama ini. Walaupun ini hanya kamera murah, tapi kamera ini yang melatih skill fotografinya. Ia menjepret suasana sore hari yang ada di depannya. Memotret aktivitas warga yang baru saja pulang kerja, memotret langit yang berubah menjadi jingga, ia terus berjalan menyusuri alun-alun kota. Ia pun terduduk sebentar dan memandang kembali langit yang mulai memerah. Ia berharap kembali, semoga hari ini hari terbaik yang ia miliki.

"Woii, hahaha ..." seseorang mengejutkannya. Ternyata Ninik. Ia langsung melirik ke arah Ninik.

"Eee ... Eee ... Kukira siapa. Terkejut aku, ternyata bidadari senja. Haha ..." ucapnya sedikit merayu. Walaupun Heri tidak pandai mengeluarkan kata-kata rayuan, tapi kali ini ia seakan tak ragu mengucapkannya.

"Eh maaf ya, aku agak telat. Udah lama nunggu?" tanya Ninik sambil meminta maaf.

"Hehe, enggak lama kok. Sekitar 350 tahun aja ..." jawabnya becanda.

"Yaelah, 350 tahun, kau kira penjajah," ujar Ninik sambil tersenyum. Matanya memancarkan keindahan. Heri tak mampu menatapnya. Dadanya langsung bergetar setelah melihat tatapannya. Senyumnya yang lentik itu juga membuat Heri semakin berdebar.

"Hehe becanda. Eh katanya juga suka fotografi? Betul?" tanya Heri.

"Hmm, sedikit. Tapi aku gapunya kamera. Aku memotret pake handphone aja. Kan memanfaatkan apa yang ada," ujarnya.

"Ohiya, nih coba kameraku. Kalo gapaham bisa nanya. Nanti ku ajari," tawar Heri memberikan kameranya.

"Wahhh, boleh? Yaudah ajari aku sekarang!" ucap Ninik.

Heri yang mendengarnya, tak henti berdegup. Jantungnya seakan mau copot dengan kecepatan seperti MotoGp. Tapi Heri berusaha untuk tetap tenang. Ia mengiyakan permintaan Ninik.

"Nah kalo lagi suasana sore begini, harus pintar-pintar ngatur komposisi fotonya. Jadi ada segitiga exposure namanya, Iso, Aperture, dan Sutterspeed. Nah kau harus pande-pande ngaturnya. Ini tombol Sutterspeed, sama Iso," sambil menunjuk sisi kamera.
"Nah, yang ini namanya bidik eye, ini namamya tombol Rana," Heri terus memberi arahan kepada Ninik. Tanpa sadar, Heri terus dipandang olehnya. Ninik terus memandang Heri dengan tatapan berbeda. Ada rasa kagum dan rasa penasaran. 

Di sudut kota, mereka berdua terus bersama menghabiskan waktu sore hari berdua. Entah apa yang ada di benak mereka berdua saat ini. Tertawa lepas tanpa ada canggung satu sama lain. Heri seakan-akan menghilangkan rasa canggungnya yang selama ini hadir. Ia merasa hari ini adalah hari terbaik. Ia berharap hari ini dapat terulang kembali. Rasa yang ia milikipun semakin tumbuh dan menetap.

...

"Pada semesta, kuharap perjumpaan ini dapat menjadi suka yang kumiliki. Bukan duka yang hadir dalam diriku. Pada semesta, aku percaya padamu. Aku ingin rasa ini tumbuh pada tempat yang benar, kuharap rasa ini akan tumbuh juga dalam dirinya. Pada waktu yang terus bergerak maju, kuharap kau tak mengecewakanku"

Kisah PelikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang