Hilang

3 1 0
                                    

Kamipun bertemu di kedai kopi milik Rey. Ciko menceritakan semuanya kepadaku mengenai Heri yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.

"Kemarin Heri bilang samaku, dia mau pergi ke suatu tempat. Aku gatau di mana pastinya. Karena Heri benar-benar tertutup akan beberapa hal," ucapnya.

"Lalu, aku mau tahu sedikit tentang Heri. Apa aja kegiatan dia selama ini selain kuliah, fotografi?" tanyaku.

"Hemm ... Heri anak yang pekerja keras. Ia mampu mengerjakan suatu hal yang ia suka dalam satu malam dan tanpa mengeluh. Selain fotografi dan kuliah, yang kutahu ia paling suka berkegiatan di alam. Namun jarang sekali ia kalo pergi selama ini. Udah satu bulan lebih ia pergi tanpa kabar. Yang jelas dibilangnya mau nyelesaikan satu misi," ucap Ciko.

Aku semakin penasaran dengannya. Tuan yang baru kukenal beberapa bulan. Tuan yang kukenal dengan cara yang sederhana, namun bisa membuatku menjadi terkesan luar biasa. Tuan yang banyak mengajariku tentang hal-hal dalam kehidupan.

"Kau tahu, hidup kita nggak sendiri. Kita makhluk sosial yang dilahirkan dan mati dengan bantuan orang lain," ucapnya kala itu.

"Ia tahu. Terus?" tanyaku.

"Sekarang banyak sekali manusia yang tingkat egonya lebih tinggi dari tingkat sosialnya. Maksudku, kadang manusia bisa seenaknya berbicara tanpa melibatkan tata krama. Apalagi zaman sekarang. Teknologi yang semakin canggih bukannya mendekatkan yang dekat, malah menjauhkan yang dekat. Memang sih, kita didekatkan oleh teknologi melalui media sosial, namun kita juga harus bisa membalance kan hal itu," ujarnya dengan penuh semangat. Baru kali ini aku melihat dirinya seperti ini. Dibalik tampilannya yang sedikit urakan, yang kadang orang melihatnya sebagai brandalan, justru itu berbanding terbalik dengan apa yang kulihat sekarang. Ia membuatku semakin
kagum dan penasaran.

...

Satu setengah bulan berlalu, kabarnya tak kunjung ku dapat. Rey sebagai teman dekatnya juga menghilang bersamanya. Hanya kedai kopinya saja yang buka dengan beberapa pegawai di sana. Aku yakin mereka pergi untuk suatu hal baik. Aku sangat yakin akan hal itu. Kuharap tak ada hal buruk yang didapat, semoga saja.

...

"Assalamuallaikum," suara lelaki terdengar hingga kamarku.

Aku bergegas melihat ke depan dan membukakan pintu.

"Wa'alaikumsallam," jawabku. Sambil membuka pintu.

"Nik," sosok lelaki dengan perawakan rapi dan tampan. Ternyata Dera. Dera adalah temanku waktu di SMA dulu. Bukan termasuk teman dekat.

"Eh, Dera?" tanyaku.

"Hey, apa kabar? Lama nggak ada kabar," ucapnya.

"Baik, kau?"

"Ya gini, masih sama kayak dulu. Ohiya, aku dengar kau tinggal dekat sini dari Mama kau. Aku kemarin ke rumah kau. Yaudah kebetulan aku juga baru pindah ke sini, yaudah deh aku mampir," ucapnya.

"Eh iya? Wah, silakan masuk dulu, Der. Mau minum apa?" tanyaku.

"Gosah repot-repot, air putih aja," balasnya.

"Yaudah, bentar, ya?"

Malam itu aku dan Dera berbincang mengenai masa lalu kami di sekolah dulu. Dulu kami tidak dekat, cuma kawan sekelas saja. Kami bercerita mengenai si Joni yang dulu sering dibully oleh kawan sekelas. Cerita tentang si Riko yang menjadi seorang bodyguard di kelas. Cerita tentang si Rina yang sering gonta-ganti pasangan. Pokoknya malam itu kami banyak menghabiskan waktu untuk bercerita tentang masa lalu kami.

"Aku pamit dulu, ya?" ucapnya.

"Iya, hati-hati," ucapku.

"Makasih, ya atas waktunya," ucapnya lagi.

"Iya, sama-sama. Makasih juga oleh-olehnya," balasku.

"Daaa..." pamitnya dengan menggunakan mobil bermerk Jazz.

...

"Nik, mau tahu kabar Heri?" pesan singkat dari Ciko. Aku langsung membalasnya dengan semangat.

"Mau, mau, mau. Kasih tahu, Ko," pintaku.

"Kita ketemu di kantin hari ini," pintanya.

"Oke,"

Aku langsung bergegas pergi meninggalkan kosku dan menemui Ciko di kantin kampus.

"Udah lama nunggu?" tanyaku.

"Baru 15 menit, ohiya duduk," ucapnya.

"Jadi apa cerita, Ko?" tanyaku

"Jadi gini, ternyata Heri dan Rey mendapat tugas dari dosen mereka untuk meneliti sebuah desa terpencil. Tugasnya itu bakalan dijadikan dokumenter dan sebuah cerita. Aku sih kurang paham ya. Tapi intinya, mereka ditugaskan untuk bisa meneliti desa tersebut. Aku tahu dari Heri langsung, ia memberiku pesan singkat pagi tadi. Katanya, memang tidak ada sinyal di sana. Ia kirim salam samamu," ucap Ciko.

"Terus, kau nggak nanya kapan merek pulang?" tanyaku dengan nada cemas.

"Kurang lebih dua minggu lagi mereka pulang," jawabnya.

"Ok-oke, bentar, dosen Heri sama dosen aku kan sama. Kami kan satu kelas. Masa, beda tugas?" aku bertanya penasaran. Karena memang, kami satu kelas, tapi kenapa tugasnya hanya diberikan kepada mereka berdua saja.

"Oh untuk itu, bukan untuk tugas dari kelas kalian. Namun, ada satu dosen yang memang meminta mereka berdua untuk bisa meneliti itu. Heri selain seorang fotografer, ia juga humble ke setiap orang. Serta, tingkat sosialisasinya yang tinggi, membuat para dosen suka dengannya," jawab Ciko.

Aku tak heran dengan jawaban Ciko. Karena memang Heri pernah bercerita mengenai hal-hal yang berbau sosial. Aku kagum padanya, ia banyak mengajariku arti sosialisasi. Hidup bukan sekadar, hidup lalu mati. Makan lalu kenyang, dan tidur lalu bangun. Tapi lebih dari itu, hidup adalah tentang bagaimana kita dapat menjali sebuah hubungan, sebuah ikatan, sebuah kasih sayang, sebuah kerukunan, bahkan sebuah peradaban. Hidup memang keras, tetapi tak ada yang lebih keras dari pahitnya kata menyerah. Kehidupan yang kita rangkai adalah kehidupan yang kita jalani. Dari bayi kita diajarkan berjalan, makan, lalu setelah dewasa kita mencari sebuah jati diri. Sebuah jati diri yang akan menuntun kita keperjalanan berikutnya. Ketika hidup baik dengan manusia, maka kebaikan juga akan menghampiri kita.

...

Kisah PelikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang