Tiga

17 2 0
                                    

Langit mulai gelap, awan mendung tiba-tiba menyelimuti langit yang cerah tadi. Sedikit senang didalam hatiku, karena sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi.

Tapi, Dokter yang masih bersamaku ini menuntun kursi rodaku cepat-cepat untuk berteduh di koridor rumah sakit. Padahal, aku masih ingin disana, aku ingin bermain hujan lagi.

Raut wajahku kini menjadi sedikit kecewa karena Dokter ini menyuruhku untuk berteduh. Saat aku sedang memandangi hujan deras ini, terdengar suatu bisikan dari telinga kananku. "Kalau kamu sudah sembuh, kamu boleh main-main hujan sesuka hatimu. Tapi nanti–sama saya, mau?"

Sebuah kalimat yang terlontarkan dari Delvin berhasil membuatku tersenyum kembali. Mungkin kali ini pipiku berubah menjadi merah seperti kepiting rebus karena ucapannya.

Tidak! Aku tidak boleh terhasut dengan kalimat manisnya. Mungkin dia mengucapkan itu hanya untuk mengembalikan rasa kecewaku kepadanya yang sudah menuntun kursi rodaku ke koridor.

"Saya tidak lagi merayu mu, Ly, itu hanya tawaran buat kamu. Kamu mau tidak? Kalau nanti sudah sembuh, terus main-main hujannya sama saya? Saya juga suka hujan." Ucapnya sekali lagi.

Aku spontan menoleh kearahnya, yang masih mencondongkan kepalanya tepat di sampingku. Tatapan kami saling bertemu begitu dekat.

"Kok kamu tahu aku sedang memikirkan kalimat mu tadi? Kamu cenayang, ya?" Tanyaku heran dengan menaikkan sebelah alisku.

"Mana ada saya cenayang? Sudah pasti kamu memikirkannya, tidak mungkin kalau tidak kepikiran, buktinya pipimu merah seperti kepiting rebus." Jawabnya dengan meledekku.

Aku mencebikkan bibirku dan membuang muka. "Terserah mu sajalah."

—————

Hari sudah mulai malam, sedangkan hujan masih belum reda juga. Aku melihat jam yang melingkar dipergelangan tanganku, masih pukul 19.00, aku tidak perlu mencemaskan mama dan papa, sudah pasti mereka tidak akan mengkhawatirkan aku.

Aku ingin segera pulang sebenarnya, karena aku sangat lelah dan ingin segera beristirahat di kasur empuk ku. Tapi mana mungkin ada taxi yang mau mengantarkan ku bila hujan deras begini.

"Masih belum pulang, Ly?" Tanya Delvin mengagetkanku dari belakang.

Aku menoleh kearahnya. "Nggak! Aku mau tidur sini saja."

"Emangnya kamu berani, malam-malam tidur sendiri disini? Di koridor rumah sakit pula."

"Dokter Delvin, ini masih hujan! Deras pula." Jawabku sedikit kesal.

"Kalau begitu, pulang bareng saya saja, gimana?" Tawarnya kepadaku.

"Tidak usah, makasih! Aku nunggu taxi aja." Tolak ku.

Delvin membungkukkan badannya tepat dihadapanku. "Tidak ada kata penolakan, Lily!"

Suster Alena yang sedari tadi melihati ku dengan Delvin, membuatku menjadi sangat canggung dengan situasi seperti ini. Dan tiba-tiba, suster Alena membuka suara.

"Kalau begitu saya pulang duluan saja, ya? Kamu pulangnya sama Dokter Delvin, kasihan dia kalau kamu menolaknya, Ly." Ucap suster Alena. Aku hanya bisa pasrah jika suster Alena sudah menyuruhku untuk pulang dengan Dokter edan satu ini.

Sedangkan, Delvin hanya terkekeh melihat wajahku yang pasrah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Hmm... iya sudah, hati-hati, Suster."

Rain And Traces Of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang