Jatuh itu wajar. Tapi, jangan betah-betah tersungkur di sana
Sakit hati itu wajar. Tapi, jangan betah-betah mengunci hati untuk tidak memaafkan
Hari-hari ini waktu ku kuhabiskan untuk berkesibukan. Ada proyek baru yang mengharuskan ku selalu bertemu dengan Pak Satria. Dari kewajibanku yang menjadi asdos, menggarap jurnal ilmiah internasional perdanaku dengannya, hingga beliau menjadikanku asisten pribadi pengacara dalam sebuah persidangan. Kegiatan yang sangat menyibukkan. Aku sangat bersyukur, dengan seperti ini rasa dalam hatiku sedikit teralihkan.“Ling, kamu mau ke Gresik sore ini?, kamu mau naik apa?” tanya Jihan padaku. Melihat aku yang sedang mengemasi barang-barang dan peralatan make up buat nyinden nanti malam.
“Iya Han, lokasinya cukup deket kok dari sini, jadi nanti rencananya aku mau naik bis” jawabku sembari meresleting koper kecilku.
“Akhir pekan seperti ini bis lagi rame-ramenya lho, kamu ndak takut kalau kamu nanti berdiri atau uwel-uwelan, dari kemarin kamu keliatan kurang tidur, nanti malam kamu juga harus terjaga sampek subuh, apa nggak naik taksi, atau grabcar aja, biar kamu bisa istirahat?” tutur Jihan menasehati. Ada raut kekhawatiran di wajahnya.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Jihan ada benarnya juga. Mengingat kesibukanku dari kemarin menguras banyak waktu istirahatku. Tapi, mau bagaimana lagi. Menurutku bis adalah alat transportasi yang tepat saat ini, mengingat lokasi buat manggungku tidak jauh dari jalan yang biasa dilalui oleh bis, selain alasan lain tentang biaya naik bis yang terkesan murah. Dan, di dalam bis juga aku banyak mendapatkan pengalaman-pengalaman baru, bahkan mengenal orang-orang baru, pokoknya aku sangat senang gaya sosialisasi antar penumpang dalam bis.
“Nggak papa Han, udah biasa kali,” ucapku meyakinkan Jihan.
“Ya udah deh, jaga diri baik-baik ya,”
“Siapppp. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Di depan kosan aku melihat Austine sedang menyiram bunga, dia terlihat terkejut dengan kedatanganku ke arahnya.
“Elo mau kemana Ling?” tanyanya dengan wajah sok kepo.
“Aku ada manggung malam ini di Gresik” jawabku seadanya.
“Owwhhh” dia manggut-manggut mengerti. “Trus elo mau naik apa sekarang?” tanyanya kembali. Dia memberhentikan kegiatanya menyiram bunga.
“Naik Tayo, udah ah, aku mau berangkat, keburu sore nanti” ujarku menaikkan ganggang koper berniat pergi.
“Ehhhh, jangan naik Tayo, kasian elo nanti, desek-desekan sama orang-orang” sarannya,
“Ahaaa, gue punya ide…” ucapnya lekas mengambil handphone dari dalam sakunya dan memberikan selang air padaku.
“Kamu mau nelpon siapa?” tanyaku dengan menggerakkan selang itu, melanjutkan kegiatan Austine menyiram bunga.
“Shuuutttt” ucapnya menempelkan jari telunjuknya pada bibirku, ketika ia mengetahui panggilannya telah terhubung dengan orang di seberang.
Aku membiarkan Austine berbicara dengan orang yang sedang ditelponnya, dan dia memilih menjauh dariku seolah sedang berbicara dengan orang penting saja.
“Udah Tine, aku mau berangkat, jangan keluyuran nanti kamu sama Do’I, kasihan Jihan kalau nanti di rumah sendirian” nasehatku melihat Austine kembali dengan wajah berbinar.
“Iya… iya,” ujarnya. “Minta dianterin nggak, buat jalan sampek depan gang?” tawarnya yang lantas aku beri anggukan.
Jarang-jarang ini anak nawarin aku buat nemenin jalan sampai depan gang. Diapun juga menemaniku menunggu datangnya bis.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANTALA NUSANTARA (KISAH TNI & SINDHEN)
SonstigesKisah antara anggota TNI AD dengan Sinden muda. "Mengapa Bapak memilih saya, saya tidak bisa menyembuhkan Bapak jika Bapak tugas dan terluka nantinya. Mengapa tidak memilih dokter, perawat atau sejenisnya, yang bisa menjaga sekaligus merawat Bapak d...