(Chapter 9) Tresno Marang Budhoyo

2.5K 176 75
                                    

Yang kami takutkan, bukanlah saat budaya ini hilang dan diakui oleh bangsa lain. Akan tetapi, adalah saat budaya di negeri ini hancur karena generasinya yang acuh dan lebih merawat budaya lain daripada merawat budaya mereka sendiri.
Afrisda Arlingga Hadi Prayitno
@Bantala Nusantara

Angin malam membelai lembut kulitku yang hanya terbaluti kain kebaya tipis. Meski sudah terbiasa, tetap saja, angin malam akan tetap terasa sangat dingin, menembus tulang belulang. Aku tak habis pikir, buatku yang masih berkulit muda, sudah sangat kedinginan, apalagi bagi sinden sepuh seperti Budhe Wantika, Budhe Sulastri, Bulik Karmini yang juga memakai busana yang sama.

“Owalah, cah ayuku datang…” sambut Budhe Wantika mengetahui aku memasuki rumah yang digunakan untuk make-up dan istirahat rekan-rekan.

“Ahhh… Budhe bisa ajha… tapi kelihatannya saya dari lahir juga sudah cantik kok Dhe, hehehe” candaku lalu mencium pipi kanan dan pipi kiri Budhe Wantika.

Di usia Budhe Wantika yang kini lebih dari setengah abad, semangat beliau dalam menyinden masih tetap mengobar. Bahkan melebihi kami generasi muda. Nguri-uri budaya Jawa itu sepanjang hayat, kalau perlu cucu cicit sampek wareng harus bisa nyinden seperti kita, begitu kata beliau memotivasi kami untuk terus belajar nyinden.

“Ini, samean dari Surabaya to tadi?” tanya Budhe Wantika sambil menyisir rambutnya, yang masih tampak segar di usia senjanya.

“Nggeh Dhe, tadi dianter temen kesini,” jawabku lembut.

“Bohong Mbak Lingga Dhe, tadi Mbak Lingga dianter sama pacar barunya Dhe, uhukkk….” Sahut Rizki dari belakang kami yang sedang makan. Dia tersedak setelahnya.

“Kalau makan itu mbok yo diati-ati,” tutur Budhe Karmini yang sama juga makan rawon di sebelah Rizki.

“Tuh… Dengerin kata Budhe Ki, makan kok sambil ngomong,” ujarku dengan nada penuh kemenangan.

“Tau nggak Dhe, cowoknya Mbak Lingga itu guanteng banget, orangnya besar tinggi, agak hitam sih tapi kayaknya aslinya putih,” lanjut Rizki melebih-lebihkan orang yang mengantarku tadi.

“Gimana-gimana Ki, agak hitam tapi aslinya putih, abu-abu to maksud kamu?” kini giliran Budhe Sulastri yang menimpali sembari memasang aksesoris.

“Ndak Dhe, dilihat-lihat kulitnya itu bersih, tapi kayaknya orangnya suka di bawah matahari, jadi agak hitam gitu, terus-terus di atas bibirnya itu ada tahi lalat kecil, kalau senyum dia tuh, Subhanallah, maniss banget, ” ujar Rizki berhiperbola.

“Oooya, samean juga punya tahi lalat kecil kan ndek bawah bibir Ling?” tanya Budhe Wantika kepadaku.

“Nggeh Dhe” jawabku seadanya.

“Itu berarti Mbak Lingga sama orang tadi, jodoh, ya kan Dhe?” tanya Rizki kepada Budhe-Budhe di sebelahnya dengan mengacung-acungkan sendok makannya.

“Terserah kamu Ki, mau bilang apa, yang penting aku sama Pak Ridwan tidak ada hubungan apa-apa,” aku mengalah.

Bunyi gamelan sudah mulai ditabuh, dipukul, dan dipetik. Mbah-Mbah dan Pakdhe-Pakdhe dari Sanggar Tresno Budaya melakukan check sound sebelum acara dimuai. Suara sound system pun sudah mulai dinyalakan. Riuh suasana bahagia menghiasi malam minggu ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BANTALA NUSANTARA (KISAH TNI & SINDHEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang