Digantung Harapan
"Manusia diberi kebebasan untuk berharap. Namun manusia tidak diperkenankan untuk bergantung pada harap. Karna kadang, harapan tak sejalan dengan skenario Tuhan"
Bantala Nusantara
Di dalam mobil, aku dan Pak Satria hanya saling diam. Kami kalut dalam pikiran kami masing-masing. Aku menatap ke samping kiri jendela mobil sambil mengingat-ingat kepingan masa laluku. Mengingat kembali pertemuan pertamaku dengan Kak Adharis, menjadikannya sebagai pacar pertama, dan harus rela diputuskan oleh laki-laki yang membuatku merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya juga.
Beribu pertanyaan seakan membombardir otak dan pikiranku. Tak mudah untuk mencerna setiap frasa yang diucapkan lewat surat terakhirnya, dan apa hubungannya dengan keadaan yang kulihat tadi. Satu kesimpulan yang aku yakini tidak akan meleset kebenarannya.
"Dia pergi karna mau belajar dan mengejar cita-citanya Lingga, dia akan kembali padamu lagi setelah ia selesai belajar. Janjinya sudah seperti itu kan?" yakinku dalam hati.
Entah mengapa, selama ini aku belum bisa berpaling darinya. Apa karena janjinya dalam surat itu, yang akan kembali padaku seusainya ia belajar?, atau karena aku yang belum bisa merasakan jatuh cinta kedua setelah cinta pertamaku kandas di tengah jalan. Ahhh sudahlah, cinta adalah misteri Tuhan.
Lima belas menit Pak Satria mengemudikan mobilnya, beliau memarkirkan di halaman tempat di mana aku mengontrak.
"Terima kasih Pak, sudah mau repot-repot jemput saya di stasiun" ucapku kikuk pada Pak Satria yang sekarang sedang menurunkan barang bawaanku dari jok belakang mobil.
"Hari Senin kamu berangkat lebih awal ya ke kampus, jangan lupa ke ruangan saya tiga puluh menit sebelum jam delapan" ucapnya memberikan barangku.
"Iya pak, siap" ucapku dengan nada yang ku tegas-tegaskan. "Oooya pak, ini saya dibawakan dari rumah wingko, Bapak bawa ya, " lanjutku dengan mengambil satu bungkus wingko dari paperbag dan memberikannya pada Pak Satria.
"Terima kasih, saya bawa pulang wingko kamu" ucapnya berlalu pergi menuju pintu mobilnya.
"Hati-hati di jalan pak, Assalamu'alaikum" salamku pada Pak Satria yang sedang menutup pintu mobilnya. Namun, di balik kacanya aku dapat melihat sebuah senyum di sana. Senyumnya untuk yang ke 5 kali di hadapanku.
"Linggggggaaaaa" teriak seseorang dari arah pintu kontrakan.
Dia berlari menuju ke arahku dan langsung memelukku erat, aku sampai merasa sesak dibuatnya.
"Udah ahh sesek nih aku" aku merenggangkan pelukannya.
"Aku kan kangen banget sama kamu" rengeknya. "Ini apa nih Ling, wingko?" Tanyanya dengan mata berbinar melihat paperbag yang aku bawa.
"Eitsss... bagi ke Bu Dwi dulu" ucapku menampik tangannya yang mulai memegang paperbag. Bu Dwi adalah pemilik kos-kosan yang aku tinggali bersama teman-temanku.
"Iya, Lingga sayang...." dia mengecup pipiku dan langsung pergi. Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanak-kanakan Austine itu.
Aku di sini tinggal bersama dengan ketiga temanku yang sama-sama mahasiswi satu kampus, namun beda prodi dan fakultas.
Tadi Austine, nama lengkapnya Agustina. Dulu aku mengira jika dia lahir di bulan Agustus, seperti kebanyakan orang tua yang menggunakan nama bulan kelahiran sebagai pelengkap nama anaknya. Contohnya Aprilia biasanya lahir di bulan April, Febri atau Febrianti biasanya lahir di bulan Februari, dan Agustina biasanya lahir di bulan Agustus, atau biasanya dalam kalender Islam, Maulidia biasanya lahir di bulan Maulud, Ramadhani biasanya lahir di bulan Ramadhan, dan Fitri biasanya lahir saat hari perayaan Idul Fitri. Kalau Agustina yang lebih sukanya dipanggil Austine ini, dia lahir di bulan Januari. Karena, nama Agustina adalah singkatan dari nama mama dan papanya, Agus dan Tina.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANTALA NUSANTARA (KISAH TNI & SINDHEN)
De TodoKisah antara anggota TNI AD dengan Sinden muda. "Mengapa Bapak memilih saya, saya tidak bisa menyembuhkan Bapak jika Bapak tugas dan terluka nantinya. Mengapa tidak memilih dokter, perawat atau sejenisnya, yang bisa menjaga sekaligus merawat Bapak d...