"Kukira kau tidak akan kembali secepat ini."
Indra memandangi Ashura dalam diam, dan tidak tahu harus merasa apa. Marah? Kecewa? Bersemangat—tidak. ia tidak boleh merasakan hal-hal seperti itu lagi pada mantan suaminya.
Ia mendengus. "Kalau kau tidak menginginkan keberadaanku, maka aku akan dengan senang hati minggat."—sekalipun pantat Indra masih saja melekat pada kursi.
Ashura menggeleng. Pipinya memerah, barangkali efek sakit. "Aku tidak bilang seperti itu sama sekali," katanya dengan kekeh yang membuat lutut Indra lemas. "Sebaliknya, aku malah senang melihatmu kembali, Indra."
Indra memilih untuk memalingkan wajah. Betapa curangnya Ashura—menggunakan kata-kata itu untuk melemahkan benteng pertahanan yang telah ia bangun dengan susah payah selama ini. Diam-diam ia berdecih.
"Omong-omong," setelah memastikan jantungnya berdebar dengan normal, Indra kembali mengarahkan tatapannya pada Ashura. Ingatan soal mantelnya yang entah bagaimana bisa berada di apartemen Ashura membulatkan tekadnya untuk bertanya, "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, soal—"
"Aku juga." Raut Ashura berubah begitu serius sampai-sampai Indra menjadi begitu gugup dibuatnya. "Kau keberatan kalau aku bertanya duluan?"
Tidak tahu harus menjawab apa, Indra hanya mengangguk.
Wajah Ashura begitu ketat oleh emosi yang menumpuk dalam dirinya ketika pertanyaan itu meluncur seperti es yang menelusuri dada Indra.
"Apa benar kalau pemindahan saham itu akan dilakukan tiga hari lagi?"
Sebenarnya pertanyaan itu sederhana; hanya perlu dijawabnya dengan sepatah 'ya' atau tidak'—tapi Indra tahu bahwa implikasi dari tiap-tiap jawabannya jauh lebih dalam, juga begitu kompleks, dibandingkan dengan ekspektasinya.
Maka Indra menarik napas dalam-dalam, berusaha menyerap sebanyak mungkin kekuatan di dalam dirinya, lalu berujar tenang, "Zetsu memang memberitahuku soal itu tadi pagi."
"Dan kau menyetujuinya?"
Indra terdiam lagi. Tolol rasanya untuk mengakui bahwa pagi ini ia begitu sibuk memikirkan Ashura, sampai-sampai mulutnya memutuskan untuk mengiyakan saja semua kata-kata Zetsu.
Mana ia sangka kalau jadinya malah seperti ini.
"Indra," suara Ashura memaksanya untuk menoleh. Dan mana mungkin Ashura bisa menghindari tatapan lelaki itu—yang selalu ia sukai?—"Aku ingin kau menjawabku. Tidak apa-apa kalau kau bilang 'ya'. Aku tidak akan marah."
Aku tahu, hanya saja—"Ini bukan pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan ya dan tidak," gumam Indra. "Tapi percayalah, bukan aku yang menginginkan hal itu untuk terjadi. Semarah-marahnya aku padamu, aku tidak akan membiarkanmu sengsara."
Ashura memandanginya dengan raut terpana.
"Indra?"
Lagi, panggilan itu menariknya untuk menciptakan kontak mata. Mata Ashura sejak dulu tidak pernah berubah; selalu sarat oleh kehangatan yang membuat Indra ingin menghambur ke dalam pelukan sang mantan suami.
"Apa kau ..." pria itu terdiam sejenak, menegakkan tubuhnya sedemikian rupa hingga Indra dapat melihat gaun pasien Ashura yang berubah transparan oleh jejak keringat dan mengekspos dada bidang lelaki itu. "Apa kau masih mengira bahwa aku benar-benar berusaha untuk berselingkuh darimu?"
Pertanyaan itu membuat dada Indra berhenti berdetak selama beberapa saat. Kakinya refleks menciptakan jarak yang lebih lebar di antara mereka berdua, sementara ingatannya otomatis bergerak pada masa itu; masa yang paling menyakitkan baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMMISSION] Wisteria Promise (Ashura x fem!Indra)
FanfictionEnam bulan berlalu sejak perceraiannya, Otsutsuki Indra mendapati bahwa perusahaan Otsutsuki Ashura, mantan suaminya, berada di titik kehancuran. Sekalipun ia telah bertekad untuk melupakan lelaki itu, Indra masih merasa terikat dengannya; sebab wis...