Kadang-kadang, Ashura merasa begitu tolol.
Seperti sekarang ini, misalnya; ketika ia menanyakan masalah masa lalu kepada Indra tanpa benar-benar memikirkan akibatnya. Kalimat itu meluncur keluar begitu saja seperti tidak kuat lagi untuk bertahan di dalam dada Ashura.
"Harusnya aku tidak bertanya seperti itu, kan?"
Ia menarik napas panjang-panjang, mengembuskannya dengan perlahan, tapi beban yang mengganjal di dalam dadanya masih saja berada di sana.
Penyesalan memang selalu datang terlambat, bukan begitu? Jika tidak, maka orang tidak akan hidup tanpa rasa bersalah—terkatung-katung dalam kegamangan mereka, kemudian merutuki diri sendiri karena telah mengambil jalur yang keliru.
Masalah ini jugalah yang membawanya ke pintu ruang praktik seorang psikiater enam bulan yang lalu. Ashura bahkan tidak tahu kenapa kaki-kakinya membawanya ke sana, ketika ia hanya ingin menemui Indra.
Saraf-saraf Anda terlalu tegang, tapi Anda juga merasa begitu lemas, begitu kan?
Ashura ingat ia mengangguk.
Kalau begitu, ada dua jenis obat yang harus Anda konsumsi.
Dalam ingatan Ashura, psikiater itu menuliskan resep untuk obat antidepresan dan pil anxiolytic; untuk mencegah kecemasan Ashura naik sewaktu-waktu.
Ia juga ingat mulutnya melemparkan sekalimat pernyataan—apakah obat ini bisa membuatku melupakan segala masalahku?
Ya. Wajah psikiater itu tenang, sekalipun sorot matanya begitu serius. Tapi saya sama sekali tidak menyarankan hal itu. Apapun yang terjadi pada diri Anda, baik atau buruk, adalah bagian dari diri Anda yang sekarang.
Dulu, Ashura akan menepis kata-kata itu. Ia tidak suka masa lalunya menggantung di punggung dan pundaknya seperti beban tak terenyahkan. Ia tidak suka harus terbangun terus akibat mimpi buruk yang sumbunya jelas-jelas berasal dari trauma masa lalu. Ia tidak menyukainya. Ia tidak ingin mengingat semua itu, jika benar dengan demikian Ashura bisa merasa jauh lebih baik.
Tapi tidak.
Semakin lama, Ashura merasa obat-obatan itu tidak berguna. Indra, bagaimanapun juga, adalah sumber semangatnya. Orang yang bisa mendorongnya tetap hidup, bahkan tanpa benar-benar eksis di depan Ashura. Demi Indra jugalah Ashura berjuang untuk mempertahankan apapun yang masih berada di jangkauannya—termasuk juga perusahaannya sendiri.
Bulan ketiga setelah pertemuannya dengan si psikiater, Ashura memutuskan untuk membuang obat itu, dan memutuskan untuk bergerak sendiri tanpa bantuan—
Suara pintu yang tahu-tahu saja terbuka menyentakkan Ashura kembali pada kesadaran.
"Indra?" Rasa senangnya bercampur dengan heran. "Apa ada yang tertinggal? Kenapa kau kembali?"
Indra tidak menjawab. Ashura baru menyadari ada sesuatu yang tidak beres ketika wajah wanita itu pucat pasi, dan matanya berkaca-kaca.
"Indra—?"
Seolah apa yang dilihatnya tidak cukup mengejutkan, Indra tahu-tahu saja menghambur ke arahnya tanpa mengatakan apa-apa. Punggungnya gemetar, dan Ashura tahu bahwa wanita itu berusaha keras untuk menahan tangisnya.
Jantung Ashura langsung berdegup begitu kencang. Sudah lama sekali rasanya sejak mereka terakhir kali saling menyentuh seperti ini. Betapa tubuhnya masih mengalirkan kehangatan yang sama, juga menguarkan aroma khasnya.
Ini ... sama sekali bukan mimpi, kan?
Ashura menatap sosok Indra di depannya dengan tergugu, tak tahu harus melakukan apa dalam keadaan seperti ini. Kepalanya, sementara itu, dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
Tapi semua pertanyaan itu tertutup oleh satu jawaban besar; bahwa Indra juga merindukan Ashura, sebagaimana Ashura juga merindukannya, dan bahwa Indra membutuhkan keberadaannya di saat-saat tersulitnya.
Memahami bahwa mengorek informasi dari Indra sekarang tidak akan memperbaiki apa-apa, Ashura memutuskan untuk menahan rasa ingin tahunya sampai wanita itu sudah merasa lebih baik. Tangannya, perlahan-lahan, membelai rambut Indra—dan seandainya saja situasinya berbeda, ia akan melonjak kegirangan, sebab Indra sama sekali tidak menepis tangannya—dan berbisik lembut, "Aku tidak akan membiarkanmu bersedih lagi."
Dan Ashura tidak membutuhkan jawaban apa-apa. Dirasakan-nya isak tangis Indra mereda, dan ada rasa rindu yang menjalari dada Ashura ketika kepala itu menggesek dadanya seperti seekor anak kucing.
Untuk sekarang, yang seperti ini saja sudah cukup.
.
.
"Kau yakin sudah baik-baik saja?"
Ashura tersenyum tipis, yang otomatis membuat jantung Indra berdegup tidak karuan. "Yakin," katanya lembut. "Aku bisa pergi ke mana saja tanpa diserang oleh rasa pusing. Lagi pula, aku sudah kangen dengan hari-hariku di kantor."
"Kangen, ya ..." Indra sama sekali tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "Kelihatannya kau benar-benar menyu-kai pekerjaanmu ini—seperti apapun kondisinya."
Ashura mengencangkan dasinya sebelum menjawab, "Tentu saja. Bagaimanapun juga, perusahaan itu adalah milikku. Apalagi setelah krisis itu, aku harus benar-benar bertanggung jawab pada semuanya."
Pria itu mengatakannya dengan begitu tenang, tapi Indra jelas-jelas dapat merasakan tekanan yang menguar darinya.
"Semuanya ..." ia meneguk ludah, merasa begitu munafik saat melontarkan kata-katanya, "Semuanya pasti akan baik-baik saja."
Senyum Ashura kembali terbentuk. "Pasti."
Untuk pertama kalinya senyum Ashura terlihat begitu berbeda dengan senyumnya yang biasa. Seperti senyum yang biasa kau lihat pada manusia-manusia penuh dendam.
Sekalipun demikian, Indra tahu bahwa apapun yang Ashura rencanakan tidak akan berakhir membahayakannya.
Ia memunggungi sang mantan suami, sementara senyumnya diam-diam tersungging ketika mengingat bagaimana Ashura memeluknya malam itu.
Bahkan sampai sekarang, pelukan itu masih meninggalkan kehangatan di sekujur tubuhnya.
Sulit rasanya mempercayai bahwa kehangatan itu muncul dari orang yang sama dengan sosok yang memukulnya malam itu.
Tapi sekali lagi, tidakkah kau lebih mencurigai Zetsu? Suara kecilnya berbisik. Jangan-jangan dia juga mengetahui sesuatu soal penurunan saham Ashura; lihat saja betapa percaya dirinya ia; seolah-olah semua ini berada di bawah kendalinya.
"Indra?"
Suara Ashura membuatnya kembali menoleh. Cara laki-laki itu menatapnya benar-benar membuat Indra gugup, entah kenapa. "...ya?"
Mata Ashura menguncinya dalam kesungguhan yang membuat hati Indra berdebar.
"Untuk yang kesekian kalinya," ia berujar tenang dan dalam, sekalipun penuh dengan emfasis pada tiap katanya. "Membuatmu sakit hati adalah hal terakhir yang kuinginkan."
Indra tergugu.
"Jadi ..." jeda sesaat. Dunia seolah berhenti di tengah-tengah keduanya. "Setelah ini, biarkan aku membawamu kembali, ke tempat yang sudah lama kita abaikan."
Rasa terkejutnya membuat gir di dalam otak Indra tidak bisa bekerja dengan benar. "Tempat ... apa?"
Tapi Ashura tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menepuk bahu Indra, lalu bersikap seolah percakapan itu tidak pernah terjadi ketika berujar, "Biar kuantar kau ke kantor. Kau tidak membawa mobil hari ini, kan?"
Diam sesaat. "Tidak."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" Sudut-sudut bibir Ashura tertarik naik. "Lagi pula, sudah lama kita tidak naik mobil berdua, kan?"
Kenangan soal kencan mereka di taman bunga, dansa mereka di bawah pohon wisteria, serta senandung Ashura (yang sedikit sumbang, namun menenangkan di saat yang bersamaan) membuat pipi Indra memanas.
Dan kenangan itu pulalah yang membuatnya memilih untuk mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMMISSION] Wisteria Promise (Ashura x fem!Indra)
FanfictionEnam bulan berlalu sejak perceraiannya, Otsutsuki Indra mendapati bahwa perusahaan Otsutsuki Ashura, mantan suaminya, berada di titik kehancuran. Sekalipun ia telah bertekad untuk melupakan lelaki itu, Indra masih merasa terikat dengannya; sebab wis...