Karena satu dan lain hal, kata-kata yang seharusnya di-italic terpaksa saya tidak saya jadikan italic. Mohon maaf untuk ketidaknyamanannya.
.
.
Ketika Ashura terbangun, hal pertama yang dilihatnya adalah sosok Indra yang tertidur di sofa.
Ia mengerjap sekali. Dua kali. Berusaha memastikan bahwa apa yang berada di depan matanya ini adalah nyata dan bukan rekayasa dari otaknya yang malang.
Pada kedipan ketiga, barulah organ-organ di dalam tubuhnya bereaksi. Dadanya berdegup begitu kencang. Wajahnya memanas—dan ini jelas-jelas bukan efek dari demamnya—dan rasanya Ashura bisa menangis jika ia mengeluarkan suara.
Bagaimana tidak? Di depan matanya ada Indra. Indra-nya. Tidur dengan jarak sedekat ini (walaupun Ashura akan lebih bahagia lagi jika mereka tidur di ranjang yang sama; harapan yang tidak mungkin untuk saat ini, tentu saja), dengan wajah kelelahan dan kemeja kantor yang bagian atasnya terbuka.
Demi apapun, kalau saja infus ini tidak mengikatnya, Ashura tidak akan keberatan untuk memboyong Indra ke tempat tidur dan memperlakukan wanita itu sebagaimana mestinya (tambahan lagi, sudahkah Ashura bilang bahwa dada yang tersembul di tengah-tengah kemeja itu begitu menggoda iman?).
Apa dia berada di sini sejak tadi malam? Ia bertanya-tanya, sementara tangannya berusaha untuk menggapai ponsel yang diletakkan di atas nakas di sisi tempat tidurnya. Pakaiannya masih pakaian yang kemarin. Dan wajahnya ... ah, dia pasti benar-benar kelelahan. Ashura merasa dadanya berdenyut sakit oleh rasa bersalah ketika memikirkan ini.
Ia mengulas senyum tipis, sementara kepalanya berpaling ke sisi lain tempat tidur. Harusnya ia tidak jatuh pingsan di tempat yang menarik perhatian. Apalagi di tempat di mana Indra bisa melihatnya seperti kemarin.
Ia menarik napas dalam-dalam, sementara kepalanya tidak juga berhenti merutuki diri sendiri. Kau sudah menyusahkan begitu banyak orang, Otsutsuki Ashura.
Dan orang dengan harga diri macam apa yang menyusahkan mantan istrinya sendiri?
"...Ashura?"
Pikiran Ashura langsung terputus begitu saja. Ia memalingkan wajah begitu cepat, dan matanya bertemu dengan mata Indra yang masih seindah yang ia ingat. "Kau sudah bangun dari tadi?" tanya Indra dengan suara serak yang—demi apapun, Ashura, kalian sudah bercerai. Berhentilah berimajinasi kotor soal mantan istrimu!
Ashura tersenyum. "Tidak begitu lama sebelum kau bangun," katanya. Ia berdeham sekali, berusaha menghilangkan bola asing yang seolah mengganjal tenggorokannya. Sudah lama mereka tidak bicara berdua seperti ini. "Bukannya kau harus bekerja hari ini?"
"Itu tidak penting," Indra menandas tajam. Alisnya menukik tajam. "Bagaimana denganmu? Sudah merasa baikan? Tubuhmu panas sekali terakhir kali kuukur."
Senyum Ashura melebar hanya dengan mendengar kata-kata sesederhana itu. "Aku merasa jauh lebih baik," katanya—sebuah kebohongan, jelas, sebab tubuhnya masih terasa begitu lemas dan matanya terasa seperti habis terbakar; tapi lebih baik berbohong daripada mempertahankan raut kekhawatiran di wajah cantik sang mantan istri. "Seharusnya kau tidak usah menungguiku seperti ini."
"Tidak usah memberitahuku apa yang harus kulakukan dan apa yang tidak," balas Indra tegas. "Dan jangan berpikir macam-macam. Aku di sini bukan sebagai istrimu, melainkan sebagai orang yang berbisnis denganmu."
Benar. Bagaimana mungkin Ashura bisa lupa? Seharusnya sahamnya berpindah tangan hari ini, kalau saja ia tidak sebegini tolol untuk ambruk begitu saja di depan pemilik saham barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMMISSION] Wisteria Promise (Ashura x fem!Indra)
FanfictionEnam bulan berlalu sejak perceraiannya, Otsutsuki Indra mendapati bahwa perusahaan Otsutsuki Ashura, mantan suaminya, berada di titik kehancuran. Sekalipun ia telah bertekad untuk melupakan lelaki itu, Indra masih merasa terikat dengannya; sebab wis...