Di ruang tunggu, Indra hanya bisa menautkan jemarinya seerat yang ia bisa, berusaha merapalkan berbagai doa yang ada di dalam memorinya—sekalipun doa-doa itu kacau balau.
Sosok Ashura yang jatuh pingsan di yatai tadi nyaris saja membuat Indra ikut pingsan. Kalau saja tidak ada Zetsu yang dengan sigap membopongnya ke dalam mobil, barangkali Indra hanya bisa berdiri di sana dengan tubuh kaku; berusaha mendebat dirinya sendiri sementara nyawa Ashura bisa saja tidak tertolong lagi.
Tolong buat dia baik-baik saja, ia berdesis, berusaha keras untuk tidak meneteskan air mata. Kepalanya terus meneriakkan kata tolong, berharap ada malaikat—atau dokter berkemampuan canggih—yang bisa menyelamatkan Ashura secepat satu kedipan mata.
Untuk saat ini, biarlah Indra menjebol batasan yang selama ini diciptakannya paska perceraian mereka. Keselamatan Ashura jauh lebih penting daripada harga dirinya.
"Mau minum?"
Indra mengangkat wajah. Zetsu memandangnya dalam-dalam, mengulurkan sebotol air mineral yang barangkali dibelinya di mesin otomatis. "Kau kelihatan payah sekali," komentarnya. Tapi tidak ada nada bergurau di dalam suaranya. "Kau baik-baik saja?"
Indra mengambil air mineral dari tangan Zetsu dan memaksa diri untuk tersenyum. "Jauh lebih baik," katanya pelan. "Terima kasih karena telah membantu menolong Ashura."
"Tidak masalah," Zetsu tersenyum tipis. "Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau dia akan jatuh pingsan seperti itu."
Indra juga tidak. Tapi segalanya bisa terjadi, kan?
"Setidaknya dia sudah berada di tangan para ahli," kata Zetsu lagi. Matanya menatap ke arah ruangan tempat Ashura berbaring. "Lebih baik aku mengantarmu pulang sekarang—"
"Tidak."
Senyum Zetsu menyusut. "Apa maksudmu 'tidak'?"
"Aku tidak akan pulang malam ini," kata Indra dengan hati-hati. "Ashura membutuhkan seseorang untuk menjaganya."
"Ada banyak perawat di sini, Indra."
"Para perawat itu tidak selamanya berada di dalam kamarnya," tukas Indra tajam. "Bagaimana kalau Ashura terlalu lemah untuk menekan tombol bel?"—Bagaimana kalau ternyata dia pergi ke kamar mandi dan tidak ada siapa pun yang bisa mengantarnya ke sana kecuali seorang perawat yang masih muda, polos, dan senyumnya bisa membuat Ashura jatuh cinta?
Zetsu menggeleng, menjawab dengan desah dramatis. "Kukira kau tidak lagi menyukainya, Indra."
Panas menjalari pipi Indra dengan begitu cepat. "Tentu saja tidak," katanya—dan oh, mudah-mudahan saja suaranya tidak terdengar gemetar saat itu. "Tapi mau tidak mau harus ada orang yang benar-benar menjaganya."
"Oh, ayolah, Indra," kini senyum Zetsu sudah sepenuhnya menghilang. Keningnya berkerut-kerut sedemikian rupa hingga menekan kedua alisnya. "Jangan biarkan Ashura memanfaatkanmu bahkan di saat seperti ini. Kau sudah tahu apa yang bisa ia lakukan padamu."
"Aku sangat waspada soal itu, Zetsu," Indra berujar, bersyukur bahwa suaranya kembali terdengar tegas. "Terima kasih karena sudah mencemaskanku, tapi aku akan baik-baik saja."
Zetsu hampir saja mengatakan sesuatu, tetapi kedatangan salah seorang dokter membantu Indra mengalihkan perhatiannya.
"Anda berdua kerabat dari Otsutsuki Ashura?" tanya dokter itu.
Indra meneguk ludah. "Bisa dibilang begitu." Lalu matanya bergerak ke arah pintu kamar rawat yang telah tertutup. "Apa dia baik-baik saja, sensei?"
"Sejauh ini kondisinya sudah stabil," dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya, dokter itu menatap Indra lekat-lekat. "Tapi aku juga tidak bisa bilang kalau tubuhnya baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMMISSION] Wisteria Promise (Ashura x fem!Indra)
Fiksi PenggemarEnam bulan berlalu sejak perceraiannya, Otsutsuki Indra mendapati bahwa perusahaan Otsutsuki Ashura, mantan suaminya, berada di titik kehancuran. Sekalipun ia telah bertekad untuk melupakan lelaki itu, Indra masih merasa terikat dengannya; sebab wis...