1. Graduated Day

26 6 2
                                    

Pada akhirnya, keinginan Tuhan tidak akan berubah.

Di usiaku yang masih 18 tahun, aku akan menikah dengan seorang lelaki yang bahkan aku belum mengenalnya cukup jauh.

Kuliah saja aku belum memulainya. Ya, aku baru lulus sekolah menengah atas.

Sekuat apapun aku menolak akan pernikahanku diusia belia agar tidak terjadi, ternyata Tuhan punya rencana lain agar aku tetap menikah diusia yang bisa dibilang belum siap untuk yang namanya hubungan rumah tangga.

Perjodohan? Bukan. Ini tidak seklasik itu bahkan yang aku hadapi lebih pelik dan rumit.

Jika aku tidak menikah saat itu, aku mungkin sudah dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun. Mungkin setelah aku menikah pun aku merasa hidupku seperti terpenjara.

Tapi setidaknya aku hidup berdampingan dengan orang yang menerimaku apa adanya dan selalu sabar menghadapi diriku yang sudah merepotkan dirinya di pertemuan pertama kami.

. . .

   Jakarta, Indonesia, 18 April '20

"Ciee.. yang besok lulus sekolah. PJ nya jangan lupa." Ardhan Ardinatha. Seorang pria berumur 27 tahun yang merupakan penerus perusahaan sederhana yang dibangun Ayahnya, Anton Ardinatha.

Sarah yang baru saja memasukan potongan roti ke dalam mulutnya pun dengan cepat mengunyah lalu menelannya. "PJ-PJ, Bang Ardhan juga waktu pacaran sama Kak Willa aku gak dikasih PJ tuh. Tapi kan secara bahasa, PJ itu singkatan dari pajak jadian. Lah, emang Ara jadian sama siapa sampai harus ngasih Bang Ardhan PJ juga? Cih!" Rutuk Sarah tidak mau kalah.

Tapi memang benar PJ itu singkatan dari Pajak Jadian. Terus kenapa orang yang mau lulus harus ngasih PJ? Gak masuk akal. Dasar Ardhan.

"Ra, udah berapa kali Papa bilang, kamu harus sopan meski di depan makanan. Cih? Apa itu? Gak sopan tau gak?!" Komen Anton menasihati putri bungsunya itu. "Ya, maaf, Pa. Ara khilaf hehe.."

"Cepet habisin tuh sarapannya. Nanti kamu telat ke acara pelepasan siswa. Papa sama Mama gak bisa dampingin kamu. Papa ada rapat pagi terus Mama ada orderan baju pengantin. Paling kamu didampingin sama Ardhan dan Willa dulu aja gak apa-apa kan, sayang?" Jelas Anton tanpa melihat ke arah Sarah yang sudah serius mendengarkan ucapannya.

Sakit? Memang. Kesal. Benar juga. Tapi bagaimanapun Sarah harus menahan semua itu. Toh, kondisi seperti ini sudah jadi makanannya setiap hari.

"Bang, Laura bawa yaa.. please. Kalau Ara bosen kan bisa main sama Laura," rengek gadis itu kepada Ardhan layaknya anak kecil yang merengek minta dibeliin es krim.

Ardhan terlihat menimbang permintaan adiknya itu. "Coba izin ke Mamanya aja langsung. Yang lahirin Laura kan bukan Abang tapi Willa."

"Tapi kan kamu yang nanem bibitnya." Willa mencubit lengannya Ardhan, gemas.

"Kak.. boleh ya.." Sarah memasang puppy eyes andalannya.

"Ra, bukannya kakak gak mau tapi Laura masih bayi. Dia masih butuh banyak istirahat. Kalau Laura udah satu tahun mah kakak juga gak masalah. Tapi kan sekarang Lauranya masih enam bulan. Kakak juga belum punya banyak pengalaman. Nanti kalau kamu bosen, main sama Kakak juga ayok deh," jelas Willa yang membuat Sarah kehilangan nafsu makannya.

"Ya, udah. Makasih sarapannya. Aku mau siap-siap dulu." Sarah bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar.

Beginilah keseharian keluarga Ardinatha. Di pagi hari, satu keluarga lengkap selalu sarapan bersama. Padahal Ardhan dan Willa sudah tinggal berpisah dengan keluarga inti tapi Anton bersih keras agar mereka tetap sarapan bersama di rumahnya.

My Polar Bear [Choi Beom Gyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang