3. Escape

7 5 0
                                    

Tok tok..

Sarah mengetuk pintu ruangan kerja Anton. Setelah mendengar suara persetujuan untuk masuk dari balik pintu, Sarah pun perlahan membuka pintunya dengan jantung berdegup kencang.

Dilihatnya seorang pria paruh baya dengan tumpukan berkas yang menggunung hingga menutupi sebagian wajahnya. Kedua mata pria itu menatap komputer dengan sangat lekat tanpa mempedulikan salah satu anaknya yang duduk dengan memperhatikan dirinya.

"Pah!"

"Hm?"

"Pah, maaf Ara udah keterlaluan kemarin-kemarin. Ara tau itu salah. Tapi, apa Ara juga salah buat sampein keinginan Ara di depan Papa sama Mama?" Gadis itu berucap dengan kepala yang ditundukkan.

Anton sedikit melirik Sarah setelah itu kembali ke komputer. "Di depan Bima dan keluarganya juga?"

"Tap--"

"Ra, dengerin Papa! Papa cuma mau kamu sukses dan hidup dengan nyaman. Jalan masa depan kamu udah kebuka lebar. Kamu tinggal ikutin apa yang Papa bilang. Papa lebih dulu hidup di dunia ini dan lebih banyak pengalaman. Kamu cukup percaya dan nurut saja." Anton bersih keras.

Sarah mendengkus kasar. Geram dengan keegoisan pria yang berstatus sebagai orang tuanya ini. "Pah, untuk pertama kalinya Ara punya keinginan dalam hidup. Kenapa Papa gak mau ngedukung? Kenapa Papa egois? Ara juga tau selama ini Papa manfaatin Ara cuma buat keegoisan sama kepentingan Papa aja. Ara itu udah kayak alat dalam hidup Papa dan bukannya seorang anak," serang gadis itu. Amarahnya mulai naik karena Anton masih belum berubah pikiran. Padahal sudah tiga hari lamanya Sarah memberi waktu untuk orang tuanya mempertimbangkan keputusannya itu.

Anton mengusap wajahnya kasar lalu berjalan ke arah putri bungsunya. Pria itupun lantas duduk di sebelah Sarah sambil mengelus puncak kepalanya. "Dan keinginan kamu itu gak seberapa sama cita-cita Papa supaya kamu bisa sukses besar. Jadi pengusaha hebat, punya banyak saham, keliling dunia, itu yang Papa mau buat kamu, sayang. Papa egois itu supaya kamu sukses besar kedepannya. Sarah Ardinatha. Ardinatha adalah nama akhiran Kakek kamu dan Papa sengaja sematin nama itu di akhiran nama kamu dan Ardhan supaya kalian bisa menjadi orang besar kayak Kakek kalian. Kalian itu anak Papa. Anak kesayangan Papa dan bukannya alat pemuas keegoisan."

Oh benarkah itu? Anak kesayangan? Jika iya lalu kenapa satu keinginan kecil saja tidak sanggup pria itu penuhi untuk 'Anak Kesayangan'nya?

"Pah, emang jadi seorang pengusaha udah menjamin seseorang hidup enak? Gimana kalau orang itu tiba-tiba meninggal? Gimana kalau usahanya bangkrut terus jadi gelandangan? Gimana kalau musibah lainnya datang jadi perusahaannya harus ditutup? Pah, jadi pengusaha juga belum tentu bikin hidup seseorang jadi enak kayak di istana. Semua itu butuh proses. Dan Ara maunya proses bukannya buah yang tinggal metik di pohon tanpa tau proses gimana cara bikin buah itu sampai matang," celoteh Sarah panjang lebar, tidak mau kalah dari Anton.

"Pah, Ara tanya sekali lagi. Ara pengin jadi psikolog dan bukannya pengusaha. Ara boleh ya kuliah di UI jurusan psikolog?" Gadis itu mengulangi permintannya untuk yang terakhir kali.

Anton menghela nafas berat tatkala anaknya itu masih belum menyerah untuk membujuknya. "Ra, keputusan Papa udah bulat buat kuliahin kamu di bidang manajemen dan itu gak bisa diubah lagi. Ok?"

"Ok. Kalau itu mau Papa. Kita lihat aja nanti," Geram Sarah lalu bergegas meninggalkan ruangan kerja Anton tanpa mempedulikan beberapa staff yang melihatnya keheranan karena wajah Sarah yang memerah dan sepanjang jalan gadis itupun menggerutu.

"Sarah!" Suara itu membuat Sarah semakin merutuk. "Kamu kesini juga?" Gabriel sedikit berlari ke arahnya.

Sebenarnya Sarah agak malas melihat dan mendapati orang yang dipikirnya sekongkol dengan Anton itu ternyata berpapasan dengannya. "Iya, kak. Ini baru aja aku mau pulang." Sarah berusaha seramah mungkin.

My Polar Bear [Choi Beom Gyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang