7. Keputusan

20 3 0
                                    

“Semoga saya bisa menjadi imam yang baik untuk kamu.”
—Darren Sarfaraz Aldebaran—

Ariel berjalan menuju meja kecil yang ada di tengah-tengah halaman belakang dimana Abi nya tengah duduk masih dengan Darren sebagai lawan bicaranya.

“Lo nggak liat? Gimana sedihnya Abi nglepas lo buat Darren?”

“Tapi Abi juga bahagia karena dia yakin, dia ngasih lo ke orang yang bener.”

“Kebahagiaan terbesar seorang Ayah adalah ketika melihat putrinya bersanding dengan orang yang sholeh. Ketika seorang lelaki yang dengan jantan nya dateng kerumah untuk mempersunting putrinya.”

“Tapi itu juga kesedihan yang mendalam bagi seorang Ayah, karena pada saat itu tanggung jawabnya untuk menjaga dan melindungi putrinya sudah berakhir dan di gantikan oleh si lelaki sebagai suami.”

“Demi Abi Riel, jangan ngecewain Abi dengan lo ngebatalin pernikahan ini. Se-enggaknya untuk kali ini lo bahagia in Abi dan Ummi dengan pernikahan ini. Pernikahan juga ibadah kan?”

Segelintir curhatan dan juga permintaan dari Arga terus terngiang-ngiang dalam pikirannya.
Sebagian dari dirinya menolak untuk menerima pernikahan ini, tapi sebagian lagi tidak tega untuk mengecewakan Abi dan juga abangnya.

“Dengan adanya Darren, itu sama aja nambah satu pelindung lagi buat lo. Se-enggaknya dia bisa jagain lo disaat gue dan Abi ada urusan bisnis.” kekeh Arga.

Apa ini akhir dari penderitaannya? Atau justru awal dari segala-galanya?
Awal penderitaan yang mungkin akan lebih buruk dari sebelumnya?
Apa benar Darren adalah sosok yang dikirimkan Allah untuk menjadi imamnya?
Apa benar Darren adalah orang terpilih untuk dirinya?

Tapi abangnya itu mengatakan jika ia adalah orang pertama yang akan memisahkan mereka jika dirinya menderita bukan?
Tentu saja! Abangnya itu adalah orang yang pantang melanggar janji nya.

“Tapi dengan satu catatan...”

“Gue akan misahin lo berdua, kalo masalah yang kalian hadapi bener-bener nggak menemukan titik temu. Jangan nyuruh gue buat misahin lo berdua dengan alasan lo nggak cinta sama Darren, lo nggak cocok sama Darren atau apalah itu. Gue nggak butuh alasan menye-menye gitu.”

Ariel menghampiri Hari yang sudah berdiri dari duduknya, ia kemudian memeluk Abi nya itu dengan erat seolah mereka telah terpisahkan selama bertahun-tahun lebih.

“Kenapa? Anak Abi nggak boleh sedih, nanti Abi ikutan sedih juga.” kata Hari sembari mengelus punggung Ariel dengan lembut.

“Apa Abi bahagia?” tanya Ariel, ia menatap Hari dengan wajah datarnya seperti biasa tapi dari sorot matanya kentara sekali jika ia tengah menahan kesedihan yang mendalam.

“Sangat. Abi sangat bahagia bisa menyaksikan putri Abi satu-satunya ini menikah dengan orang baik.”

Kenapa Abi yakin banget kalo dia orang baik?  batin Ariel.

“Pilihan Ummi kamu nggak mungkin salah Riel.” sambung Hari.

“Demi Abi dan Ummi Riel...”

Apa demi Abi dan Ummi gue harus nerima ini semua? Demi kebahagiaan mereka? Sedangkan gue?

“Untuk kedua mempelai, silahkan tanda tangani buku nikah ini.” ucap si penghulu.

“Melow nya di tunda dulu, sono gih tanda tangan dulu.” titah Arga lalu menarik Ariel agar duduk disamping Darren.

Dari awal kemunculan Ariel, tatapan Darren sama sekali tidak berpaling dari gadis itu. Ia akui jika gadis yang ada disampingnya itu memang cantik secara alami, tanpa polesan make up sedikitpun.

Ariel [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang