"I think I loved him enough to die.I miss your heart or selfish loneliness. But when you break my heart, that's when you kill me."
|| Time, Please ||
Off memarkirkan mobil birunya di depan halaman rumahnya. Pekerjaan yang sangat banyak membuatnya harus pulang saat waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Mungkin Gun sudah tertidur malam ini, dan Off akan menanyainnya saat pagi nanti. Tapi saat dirinya memasuki rumah, dia melihat Gun masih terjaga di depan televisi dengan keripik kentang di pangkuan lelaki mungil berkaus putih kebesaran itu.
Off langsung bergegas menaruh kepalanya di atas paha putih suaminya, lalu mengambil keripik kentang yang hendak Gun makan. Dia tersenyum menang saat melihat wajah Gun yang sedang menahan kesalnya.
"Aw, bukankah ini film yang ingin kutonton dengamu saat masih di bioskop?" Off menunggu jawaban dari Gun yang masih fokus melihat film di hadapannya. "Baby, kenapa kau tidak menungguku pulang untuk menonton ini?" rengek Off saat dirasa Gun tidak memberinya perhatian.
"Pahaku sakit. Menyingkirlah!" Gun mengangkat kepala Off dari atas pahanya. Namun lelaki itu terus bersikeras menaruh kepalanya di pangkuannya.
"Tidak mau. Baby, kepalaku sangat sakit, pijatkan kepalaku!" Off masih berusaha keras untuk mengambil perhatian Gun untuknya.
"Aku akan mengambilkan obat untukmu." Gun ingin beranjak dari duduknya namun urung saat Off malah memeluk pingganya erat. Sedikit rasa geli saat kepala Off tepat berada di perutnya, sesekali ia rasakan nafas Off di permukaan kulit perutnya. "Apa yang kau-"
"Kumohon, sebentar saja. Sebentar saja seperti ini."
Gun merasa nyeri yang teramat di dadanya saat suara parau Off berhasil masuk ke indra pendengarannya. Dan akhirnya dia memutuskan untuk membiarkan keduanya berada di posisi ini. Tangan Gun perlahan terulur untuk mengusap rambut suaminya, namun ia menariknya kembali. Sungguh, dia ingin melakukan itu, seperti yang dulu sering ia lakukan. Dia ingin mengatakan kepada suaminya bahwa dia ingin seperti dulu lagi. Memperbaiki segala hal yang rusak. Hatinya menginginkan itu. Namun otaknya dengan jelas mengatakan bahwa segalanya tak akan bisa membaik. Segalanya telah hancur. Tak menyisakan barang secuil kebahagian untuk keduanya.
"Apa kau tak lelah denganku?" Gun bertanya dengan suara kecilnya. Hampir tersamarkan dengan bunyi televisinya. Tapi pendengaran Off masih cukup baik untuk menangkap pertanyaan itu. Saat Off ingin menjawab, suara Gun kembali mengintrupsinya. "Kita bisa akhiri ini jika kau lelah."
"Kumohon, baby. Jangan tinggalkan aku. Kumohon."
"Aku hanya memberimu luka. Aku tidak bisa seperti dulu lagi."
"Tak apa, baby. Aku akan menunggumu. Tolong, jangan terus mengucapkan kata akhir untuk kita, baby" Off susah payah mengucapkan itu semua karena air mata kini sudah mengalir di matanya.
"Aku lelah, Off. Aku sangat lelah. Bahkan aku selalu ingin mengakhiri hidupku."
"Tidak. Jangan pernah lakukan itu lagi. Jangan tinggalkan aku. Kumohon, jangan ..."
Off mengelengkan kepalanya sambil terus menangis. Dia semakin mengeratkan pelukannya, dia benar-benar ketakutan jika Gun meninggalkannya. Off takut jika Gun akan mencoba untuk mengakhiri hidupnya lagi seperti yang lelaki mungil itu lakukan berulang kali sebelumnya, Off takut membayangkan Gun tidak lagi ada di kehidupannya. Karena demi Tuhan, Off sangat mencintai lelaki itu.
Gun kembali meneteskan air matanya. Dia sungguh sangat lelah hidup seperti ini. Dia tak lagi bisa merasakan kebahagian. Dia tak bisa merasakan cinta di hidupnya. Gun selalu berpikir bahwa dia lebih baik mati menemui putrinya daripada dia hidup tanpa bisa merasakan kebahagian dan cinta. Karena itu sama saja seperti mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time, Please
Fanfiction[Completed] Off ingin melanjutkan waktunya. Sedangkan, Gun terus berhenti pada waktunya. Off berusaha menghancurkan penghalang. Sedangkan, Gun terus membangun penghalang itu. Keduanya ada di waktu yang sama. Tetapi dengan hati yang berbeda. Bukan te...