[3]

1.5K 133 4
                                    

Setibanya di Apartement dan membaringkan Gun di ranjang miliknya, Tay sangat terkejut saat punggung tangannya merasakan panas yang cukup tinggi di dahi Gun, lalu dia beranjak mengambil kain basah, dan menaruhnya di atas dahi Gun. Dia terdiam sejenak, memendangi wajah terlelap Gun dan menyingkirkan beberapa surai rambut yang menganggu pemandangannya.

"Ya ampun kakimu terluka."

Tay baru menyadari kaki Gun sudah penuh dengan luka lecet. Ia meringis membayangkan Gun terus berlari dari rumah yang jaraknya cukup jauh dari taman tanpa menggunakan pelindung kaki. Lalu dengan sigap Tay mengambil kotak P3K miliknya dan mengobati kaki Gun dengan obat merah, lalu membungkusnya dengan perban.

Tay memikirkan betapa sakitnya hati Gun saat ini, sampai-sampai luka di kakinya tak dirasa oleh Gun.

Pagi harinya, Gun perlahan membuka matanya dan menangkap Tay tertidur dengan kepala yang disanggah tangannya. Gun tak enak hati saat melihat posisi tidur Tay yang terduduk di bawah ranjang tempat ia tidur. Gun hendak memposisikan dirinya untuk duduk, tapi tertahan saat suara Tay mengintrupsinya.

"Kau harus beristirahat cukup, Gun Atthaphan. Semalam aku tidak bisa tidur karena terus mengompresmu." gerutu Tay.

"Maaf aku membuatmu susah." jawab Gun dengan nada bersalahnya.

"Jika kau tau akan membuatku susah, maka beristirahatlah agar sakitmu sembuh!" Tay memasang ekspresi kesalnya. Itu hanya pura-pura. Tapi saat melihat Gun yang menunduk sedih, ia jadi tak enak hati. "Oh ayolah, aku hanya bercanda memarahimu."

"Tay, aku tak ingin pulang. Bisakah aku tinggal di sini untuk beberapa hari saja?"

"Mau selamanya juga boleh hehe.."

"Tay ..."

"Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda." Tay membentuk V di kedua jarinya dan menaruhnya di samping pipinya. Tak lupa ia memberikan senyuman konyol yang sering ia lakukan. "Tapi kau harus terus beristirahat sampai kau sembuh. Dan asal kau tau, aku tidak menerima penolakanmu." Lanjutnya dengan nada perintah yang begitu jelas terdengar di telinga Gun yang hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

•••

Sedangkan di rumah Off, sudah ada Alice dan Arm yang duduk di hadapan Off yang terlihat sangat jelas kesedihan di raut wajahnya. Alice dan Arm sudah berada di rumah Off sejak semalam Off menghubungi keduanya. Menceritakan semua yang terjadi. Dan membuat kedua sahabatnya marah karena tak percaya apa yang ia perbuat. Off bahkan hampir menjadi sasaran pukulan Arm jika saja Alice tidak menghalangi pukulan Arm.

Kini Alice yang sedang menggendong Win dipangkuannya, menatap Arm agar memulai pembicaraan.

"Sekarang apa yang akan kau lakukan?" tanya Arm masih merasa kesal atas semua perbuatan Off yang menurutnya sangat keterlaluan. Bagaimana bisa ia menambah penderitaan Gun? Pikirnya malam itu sampai membuatnya ingin menghajar Off jika saja Alice tak menghentikannya.

"Tentu saja, aku akan terus mempertahankan hubunganku. Aku tidak akan melepaskan Gun." jawab Off dengan suara seraknya.

Sontak saja jawaban itu membuat Arm tertawa dengan nada mengejek. Tak mempercayai betapa egoisnya Off saat ini.

"Aku rasa kau sudah benar-benar sinting. Bagaimana bisa kau mempertahankan Gun jika kau sudah memberi luka padanya, hah?" Arm meninggikan suaranya agar lelaki di depannya mampu mendengar ucapannya dan tersadar betapa egoisnya dia saat ini.

"Aku tak bisa hidup tanpa Gun. Kenapa kalian tidak mengerti?"

"Dan kenapa kau tidak mengerti jika Gun  akan mati jika kau terus mempertahankannya?" Itu suara Alice yang mencoba berbicara dengan nada setenang mungkin. "Kau sudah merusak yang tersisa, Off. Kau harus sadar itu!"

Time, PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang