Hilangnya Sang Mahkota

20 1 0
                                    

Sekuat tenaga Aku mencoba berontak, namun tenagaku sungguh tak sebanding dengan Den Cahyo, yang terus merapatkan tubuhnya kepadaku. Menindih tubuhku!

“Jangan Den, Saya mohon hentikan Den,”

“Jangan...!“

Den Cahyo bagai orang kerasukan, tak Ia pedulikan diriku yang terus meronta dan mengiba padanya.

Cakaran dan pukulan tanganku di tubuhnya pun, tak membuatnya lekas menghentikan aksinya. Den Cahyo justru bersikap semakin beringas dan brutal.

“Tidak, Jangan...!“

“Emmmbh....“

Den Cahyo membekap mulutku, dengan bibirnya.

Aku panik, karena tak dapat lagi berteriak untuk meminta pertolongan. Harapan jika akan ada orang yang mendengar teriakanku pun musnah. Meski Aku sendiri sadar, takkan ada orang yang mendengar suara teriakanku di hutan belantara ini.

Ku jambak kuat rambut Den Cahyo, berharap Ia kesakitan lalu berhenti. Namun Aku salah, Den Cahyo justru bertindak semakin nekat. Ia menghentikan ciumannya lalu mulai mencekik leherku hingga membuatku kesulitan bernafas.

Eeerrgghhh

Nafasku tercekat di tenggorokan. Ku lepaskan jambakan tanganku di rambut Den Cahyo, detik kemudian Den Cahyo juga turut melonggarkan tangannya di leherku.

“Menurutlah atau kamu akan ku habisi!“ ancamnya.

Tubuhku gemetar ketakutan, Aku tak rela diperlakukan seperti ini. Namun di sisi lain, Aku pun juga takut jika Den Cahyo berbuat semakin nekat, lantas menghabisiku.

Duniaku bagai runtuh, Den Cahyo berhasil memaksakan kehendaknya. Hilang sudah mahkota yang ku jaga selama ini.

“Awas saja jika Kamu berani membuka mulut!“ hardik Den Cahyo setelah puas melakukan aksi bejatnya.

Aku beringsut mundur, ku punguti kebaya dan kain jarikku yang berserakan di atas tanah.

Buliran bening menetes perlahan dari pelupuk mataku, ketika mulai memakai kembali pakaianku. Hingga detik kemudian tangisku pecah, menangis sesenggukan.

Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi nasib burukku.

“Diam!“

Ku gigit bibir bawahku, menahan isakan yang tak terkendali, setelah mendengar bentakan Den Cahyo. Takut bercampur ngeri, lantaran Den Cahyo adalah tipe orang yang suka berbuat nekat.

“Ayo, kita kembali ke penginapan,”

“Hapus air matamu, bersikaplah sewajarnya. Awas saja jika Kamu berani buka mulut!“

“Lagi pula percuma saja jika Kamu hendak mengadu, tak akan ada orang yang akan percaya ucapan rakyat jelata sepertimu.”

Ku usap kasar bekas lelehan air mata di pipiku, setelah mendengar ancaman Den Cahyo.

Dalam hati, Aku membenarkan ucapan Den Cahyo, tak akan ada orang yang akan mempercayai ceritaku. Memangnya siapa Aku? Hanya seorang gadis miskin yang tak jelas asal usulnya!

“Cepat naik!” titah Den Cahyo. Memintaku naik ke atas kereta kuda.

Aku manut, duduk di belakang sementara Den Cahyo melajukan sendiri kereta kudanya.

Sepanjang perjalanan, Aku tiada henti merutuki kebodohanku sendiri dalam hati.
Seharusnya tadi Aku curiga, ketika Den Cahyo tiba-tiba memintaku menemaninya berkeliling. Mencari udara segar dalihnya. Dan tidak biasanya Den Cahyo pergi tanpa kusir, sudah pasti Ia merancanakan hal ini sejak awal. Ah, bodohnya Aku!

Hiyaaa, cetaaar...!

Hiyaaa, cetaaar...!

Den Cahyo melajukan kereta kudanya dengan kecepatan tinggi, beberapa kali Ia melecut kuda agar semakin berlari kencang.

Detak jantungku bertalu-talu, berlomba cepat dengan jalannya kereta kuda. Ku eratkan pegangan kedua tanganku, agar tak terjatuh atau pun terpental dari atas kereta. Lantaran jalanan yang kami lalui berbatu, bergeronjal.

Setibanya di penginapan. Halaman penginapan sudah di penuhi oleh para serdadu belanda. Mereka berdiri berjajar lengkap dengan senjata laras panjang. Serta kuda yang turut berjajar rapi di belakang barisan mereka.

Den Cahyo bergegas turun, menghampiri Ndoro Kakung, Ndoro Putri dan pimpinan penjajah belanda yang tengah duduk santai, bercengkerama di teras penginapan.

Aku mengekor di belakang Den Cahyo, dengan sedikit memberi jarak. Kemudian membungkukkan badanku ketika melewati mereka yang tengah bercengkerama. Sementara Den Cahyo, mengambil posisi duduk di antara mereka.

“Ratih, berhenti!“

Refleks ku hentikan langkah kakiku, setelah mendengar titah Ndoro Putri. Aku berbalik, berjalan menuju mereka kemudian duduk bersimpuh di atas lantai.

“Iya, Ndoro Putri.” ucapku, setelah selesai mengatur posisi. Di sinilah posisiku. Duduk bersimpuh di atas lantai, di bawah mereka yang duduk dengan pongah di atas kursi. Aku memang selalu di anggap babu oleh mereka.

“Jadi bagaimana Tuan Barend?“ tanya Ndoro Kakung pada pimpinan penjajah belanda, yang baru ku ketahui bernama Tuan Barend.

Dahiku mengernyit, bingung. Melihat gelagat aneh antara Ndoro Kakung, Ndoro Putri serta Tuan Barend. Terlebih dengan cara Tuan Barend yang memandangiku dari atas ke bawah, berulang kali.

“Cantik, Aku akan membawanya bersamaku!“

Degh tubuhku serasa lemas tak bertulang mendengar ucapan Tuan Barend. Apa Ndoro Kakung dan Ndoro Putri berniat memberikanku pada penjajah belanda?

Sepintas terbayang olehku nasib buruk para gadis yang berada di cengkeraman penjajah belanda.

Baru saja Aku mengalami kemalangan, kehilangan mahkotaku di tangan Den Cahyo. Apakah Aku akan mengalami kemalangan yang jauh lebih mengerikan, setelah ini?

Gadis JelataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang