Bimbang

4 0 0
                                    

“Ndoro?“

Baru hendak berbicara, Ndoro Putri telah terlebih dulu menyela. Memarahiku.

“Jangan membantah! Gadis sepertimu tidak punya kuasa untuk menolak apalagi menentang,”

“Keputusan Kami bersifat mutlak, mengerti Kamu!“ Hardik Ndoro Putri.

“Anggap saja ini balasan atas kebaikan Kami padamu, yang selama ini sudah menampung dan memberikanmu makan secara gratis,”

“Jadi orang itu yang tahu balas budi.” Imbuh Ndoro Kakung.

Aku terdiam dengan mata berkaca-kaca. Ku remas kuat ujung kebaya yang ku kenakan. Kemudian menundukkan kepalaku, tangisku pecah. Kehilangan harapan untuk hidupku.

“Lancang...!”

“Atas dasar apa Kalian ingin memberikan Ratih pada orang lain!“

Terkejut! Spontan kami semua menoleh ke asal sumber suara.

“Ratih itu cucu angkatku, Aku yang membawanya pulang ke rumah,”

“Berani-beraninya kalian ingin memberikan cucuku pada orang lain!“

Eyang Sepuh berucap marah, sembari berjalan pelan dengan tongkat di sebelah tangannya.

Ndoro Kakung, Ndoro Putri dan Den Cahyo terlihat terkejut dengan kedatangan Eyang Sepuh yang tiba-tiba. Ketiganya berdiri menyambut kedatangan Eyang Sepuh.

“Bu...”

“Diam!“

Ndoro Kakung terdiam setelah di bentak Eyang Sepuh, Ibunya.

“Ayo Ratih, ikut pulang denganku.”

Aku bangkit berdiri, kemudian mengekor di belakang Eyang Sepuh.

Lega, perasaan terharu menyusup di hatiku. Untuk kesekian kalinya Eyang Sepuh telah membantuku.

Eyang Sepuh, wanita tua yang sangat ku kagumi. Tegas dan berwibawa, baik Ndoro Kakung atau pun Ndoro Putri, tak ada yang berani menentangnya. Terlebih karena hatinya yang mulia, di balik ketegasan sikapnya. Sangat bertolak belakang dengan anak dan menantunya yang memilih jalan hidup dengan berlindung di bawah ketiak belanda. Menjadi penjilat belanda demi langgengnya kekuasaan mereka.

“Apa-apaan ini!“

“Kalian berniat mempermainkanku?“

Masih sempat ku dengar teriakan marah Tuan Barend.

“Maafkan kami Tuan, Kami berjanji akan mencarikan gadis yang jauh lebih cantik dari Ratih.”

Ndoro Kakung dan Ndoro Putri berusaha menenangkan Tuan Barend. Sementara Den Cahyo, menatap lurus ke arahku dengan tatapan tajam.

Ku alihkan pandanganku pada pak kusir yang mulai menjalankan laju kereta kuda, lalu beralih pada Eyang Sepuh yang duduk di hadapanku.

“Terima kasih, Eyang.” ucapku dengan mata berkaca-kaca, terharu.

“Sudah, jangan dipikirkan,”

“Aku yang membawamu ke rumahku, itu artinya Kamu tanggung jawabku.”

Bibirku bergetar mendengar ucapan Eyang Sepuh. Andai saja Ia tahu, jika hidupku sudah hancur. Dirusak oleh cucu kandungnya sendiri.

Setelah itu tak ada lagi perbincangan di antara kami, hening. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

*-*-*

Ngihiiiik...!

Ngihiiiik...!

Suara ringkikan kuda membuyarkan lamunanku. Rupanya kami telah sampai, setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan.

Ku tuntun Eyang Sepuh turun dari atas kereta kuda. Wajahnya terlihat letih, di usianya yang sudah memasuki usia senja, tak seharusnya Ia melakukan perjalanan jauh. Namun Ia nekat melakukannya, hanya demi menolongku yang hanya seorang gadis yang tak jelas asal usulnya.

“Biar ku bantu Eyang.”

Eyang Sepuh mengangguk pelan, merespon ucapanku. Segera ku tuntun Eyang Sepuh masuk ke dalam rumah besarnya.

Krieeet...!

Pintu utama rumah terbuka. Yayuk dan Sumi berdiri dengan kepala menunduk di sisi kiri dan kanan pintu. Menyambut kedatangan Eyang Sepuh. Hal yang biasa dilakukan para babu ketika Sang Tuan rumah telah pulang.

“Yayuk, antar Aku ke kamarku,”

“Sumi, bawa Ratih istirahat di kamarnya.” titah Eyang Sepuh.

“Baik, Ndoro Sepuh.” jawab Yayuk dan Sumi berbarengan.

Sumi mengantarku ke kamar, setelah Eyang Sepuh dan Yayuk berlalu.

Langkah kakiku terhenti kala sampai di ambang pintu kamar, ku tatap lekat ranjang yang biasa ku gunakan berbaring ketika lelah. Pikiranku melayang, mengingat kejadian buruk tadi pagi.

Masih sanggupkah Aku bertahan di rumah ini?

Sementara untuk pergi pun tak mungkin, tak ada tempat yang bisa ku tuju.

Aku hanyalah seorang gadis sebatang kara!

Terbayang masa kecilku yang suram. Kehilangan kedua orang tua sekaligus karena kekejaman penjajah belanda. Hidup luntang lantung seorang diri, hingga akhirnya takdir mempertemukanku dengan Eyang Sepuh, yang kemudian membawaku pulang ke rumahnya sebagai cucu angkatnya.

Gadis JelataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang