Butiran Air Mata

4 0 0
                                    

“Den Ratih baik-baik saja kan?“

Sumi melambaikan tangannya di depan mukaku, sembari menatapku heran.

“Ayo masuk, Den.” ucap Sumi, lagi.

Aku hanya mengangguk pelan, kemudian melangkah masuk lalu duduk di pinggir ranjang, diikuti Sumi yang duduk bersimpuh di lantai.

“Duduklah di atas Sum,” pintaku pada Sumi.

“Mana mungkin Den, di sinilah posisiku.” Kilah Sumi, menolak permintaanku.

“Apa bedanya Aku dan kamu, Sumi.”

“Aku ini juga tak ubahnya seorang babu!”

“Hanya Eyang Sepuh saja yang menganggapku cucu angkatnya, sementara anggota keluarga yang lain?” Aku tersenyum miring dengan sedikit menggantung kalimatku sebelum kembali berucap.

“Mereka semua menganggapku babu!” imbuhku, dengan pandangan mata menerawang jauh. Memikirkan kejadian buruk yang baru saja menimpaku.

“Den Ratih jangan berkecil hati, setidaknya kan Ndoro Sepuh sangat baik.” Seloroh Sumi.

“Mbak Ratih?”

Perhatianku dan Sumi teralihkan oleh kehadiran gadis kecil yang melongokkan kepalanya di pintu sembari memanggil pelan namaku. Detik kemudian menghambur ke pelukanku.

Gendis, gadis kecil yang baru berusia 5 tahun. Putri Den Bagus, anak pertama Ndoro Kakung dan Ndoro Putri. Selama ini, Ia memang terbilang sangat dekat denganku.

“Mbak Ratih kapan pulang? Kok gak beritahu Gendis, Mbak Ratih gak kangen sama Gendis?”

Aku hanya tersenyum simpul, mendengar berondongan pertanyaan yang Gendis lontarkan padaku.

“Tentu saja Mbak Ratih kangen sama Gendis, mana mungkin Mbak Ratih gak kangen” ucapku sembari mencubit kedua pipinya, gemas.

“Kita main yuk Mbak,” Ajak Gendis yang kemudian menggelendot manja di lenganku.

“Gendis mainnya ditemani Mbak Sumi dulu ya sayang, Mbak Ratih masih capek habis menempuh perjalanan jauh.” tuturku.

“Ya udah deh, Mbak Ratih istirahat dulu aja,”

“Tapi Mbak Ratih janji ya, kalau sudah gak capek main sama Gendis lagi.”

Ucap Gendis dengan sedikit memanyunkan bibirnya. Dan segera ku jawab dengan anggukan kepala setelah mendengar permintaannya.

“Ayo Mbak Sum.”

Gendis berjalan keluar dengan diikuti Sumi di belakangnya. Menyisakan Aku seorang diri di ruangan ini.

Dalam keheningan, air mataku kembali menetes. Berderai membasahi pipi. Terasa perih menyayat ulu hati, jika teringat peristiwa malang yang baru ku alami tadi.

Den Cahyo, mengapa kamu tega berbuat sebejat itu padaku. Apa salahku padamu? Pikiranku meracau, mengutuk lelaki yang telah menodaiku.

Aku terus menangis seorang diri, meratapi hidupku yang tak pernah mujur. Hingga tanpa sadar, atau mungkin karena lelah. Mataku pun terlelap, berkelana di alam mimpi.

*-*-*

Aku duduk dengan kaku dan tegang di meja makan. Kemarin sore tanpa sadar Aku tertidur sampai pagi menjelang. Hingga tidak tahu jika Ndoro Kakung, Ndoro Putri dan Den Cahyo telah pulang malam harinya.

Terlebih lagi kursiku yang bersebelahan dengan Den Cahyo, membuatku semakin tak nyaman.

Di bawah meja sana, kaki Den Cahyo dengan lancang menyenggol-nyenggol kakiku.

Gadis JelataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang