Yang Tak Tergapai

2 0 0
                                    

“Bicaralah, jangan takut.” Lagi, ucap Den Bagus.

Aku hanya menggeleng pelan, dengan mulut terkunci. Ingin berkata lebih tapi takut.

Takut jika nantinya Den Bagus dan semua orang di sini tak ada yang akan mempercayai ucapanku.

Jadilah Aku hanya menggeleng pelan sembari melangkah pergi, meninggalkan Den Bagus yang masih tetap berdiri di sana.

Setetes bening meluncur tanpa bisa ku cegah, ku percepat langkahku agar tak ada yang menyadari tangisanku.

“Mbak Ratih?”

Namun detik kemudian langkahku terhenti, mendengar jeritan suara mungil yang memekikkan namaku.

Segera ku hapus bekas lelehan air mata dengan punggung tanganku, kemudian mengambil nafas dalam-dalam sebelum membalik posisiku.

Gendis langsung menghambur kepelukanku ketika Aku membalikkan badan.

“Kita main?” pintanya dengan mata berbinar.

“Gendis, jangan ganggu Mbak Ratih dulu,”

“Mbak Ratih masih lelah.”

Tutur Den Bagus, yang langsung di tanggapi dengan muka masam dan bibir maju satu senti oleh Gendis. Cemberut!
Jika sudah begini, mana mampu ku tolak keinginan gadis kecil ini.

“Izinkan Saya menemani Gendis bermain Den.” Ucapku kemudian, yang di jawab anggukan kepala oleh Gendis.

“Horeeeee...”

Den Bagus menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah putrinya yang melonjak kesenangan.

Dan masih sempat ku tangkap sebersit senyum di bibirnya ketika Aku hendak melangkah pergi sembari menggandeng pergelangan tangan Gendis.

Senyum yang dulu selalu terlihat menghiasi bibirnya. Namun kemudian musnah dan tak pernah ku lihat lagi semenjak kematian Den Ayu, istrinya.

Sejak saat itulah, Den Bagus berubah 180 derajat. Menjadi pribadi yang dingin dan kaku.

Padahal dulu, Den Bagus adalah orang yang ramah juga murah senyum. Namun semenjak kematian Den Ayu ketika melahirkan Gendis, Den Bagus pun berubah. Terkesan angkuh dan keras.

*-*-*

Sejenak kepedihan hatiku terasa terobati oleh tawa dan canda Gendis saat menemaninya bermain.

Beban di hatiku terasa hilang.

Hingga tatapan mataku tertuju pada sepasang mata yang tengah menatap lurus ke arahku.

Duduk dengan santai di beranda rumah utama sembari menyesap secangkir kopi.

Den Cahyo!

Membuat kemarahan yang sempat padam kembali berkobar. Aku muak. Aku benci. Teramat membenci hingga dadaku pun turut merasa perih, tersakiti.

Segera ku ajak Gendis meninggalkan halaman rumah utama. Merayunya agar mau bermain di dalam rumah saja.

Beruntung Gendis menurut, Ia bersedia meskipun awalnya menolak.

Usai puas bermain, ku tuntun Gendis masuk ke dalam kamarnya. Sudah saatnya bagi Gendis untuk tidur siang. Setelah sebelumnya makan siang dan kembali duduk satu meja dengan seluruh anggota keluarga.

Ku tutup pintu perlahan ketika melihat Gendis telah terlelap dalam mimpinya.

Merasa letih, ku ayunkan kakiku menuju kamarku sendiri.

Namun langkah kakiku terhenti ketika menyadari Den Bagus berdiri di luar kamar.

“Den Bagus ingin menengok Gendis?”

Gadis JelataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang