Sebuah keputusan

4 0 0
                                    

“Aku tidak setuju, bagaimana mungkin Aku sudi bermenantukan gadis yang tak jelas asal usulnya!” tolak Ndoro Putri.

“Aku juga menolak, Aku tidak sudi beristrikan gadis berdarah rakyat jelata!” imbuh Den Cahyo.

Aku hanya bisa pasrah. Menerima kenyataan pahit yang harus ku jalani. Meski berarti, Aku harus terbuang dan di campakkan sekalipun.

“Kalau begitu, biarkan Aku yang mempersunting Ratih.” ujar Den Bagus, membuat gempar seluruh anggota keluarga.

“Jangan ngawur kamu Bagus, sudah hilang akal kamu, hah!” sentak Ndoro Kakung tak terima dengan keputusan anak pertamanya.

“Aku masih cukup waras untuk mengambil keputusan Romo,”

“Bagaimanapun juga janin yang dikandung Ratih adalah keturunan keluarga kita,”

“Jika Cahyo menolak, maka biarkan Aku yang bertanggung jawab atas anak yang dikandung Ratih.” tegas Den Bagus.

Suasana semakin bertambah keruh, perdebatan sengit nan panjang pun tak terelakkan lagi.

“Keputusanku tak dapat diganggu gugat, Bagus akan menikahi Ratih setelah anak itu lahir nantinya!” bentak Eyang Sepuh, yang membuat semua orang terdiam.

“Tapi, Bu.”

“Diam!”

Ndoro Kakung hendak menyela, namun urung ketika Eyang Sepuh membentaknya.

Ndoro Putri berdecak kesal, tak terima dengan keputusan sepihak Eyang Sepuh dan Den Bagus, putranya. Ia lantas berlalu pergi. Di ikuti Ndoro Kakung serta Den Cahyo yang ikut berlalu pergi.

*-*-*

Ku usap kasar dengan punggung tangan ketika mendengar suara pintu kamarku di ketuk pelan.

Ya, sejak kejadian tadi siang, Aku memang mengurung diri di dalam kamar. Lebih tepatnya, tak punya muka lagi untuk keluar.

Krieeet...!

Pintu kayu kamarku berdecit pelan ketika ku buka, terlihat Sumi, gadis pelayan yang cukup dekat denganku berdiri di balik pintu.

“Makan malam sudah siap, Den Ratih,” ucap Sumi.

“Aku sedang tak berselera Sum, Aku ingin tidur saja.” tolakku.

“Tapi Den ....”

Ku tatap wajah Sumi yang terlihat sungkan, ingin mengatakan sesuatu namun ragu.

“Ada apa, Sum?”

“Katakan saja.” pintaku, penasaran dengan apa yang akan dikatakan Sumi.

“Embh, anu Den...”

“Kasihan jabang bayi di dalam perut Den Ratih, sejak tadi siang Den Ratih belum makan apa-apa bukan?” terang Sumi, mencoba memberanikan diri.

“Dan ini titah Ndoro Sepuh, Den,”

“Ndoro Sepuh yang meminta saya menjemput Den Ratih untuk makan malam.” Imbuh Sumi.

Akhirnya dengan berat hati terpaksa ku langkahkan kaki ini, lantaran tak mungkin menentang titah Eyang Sepuh.

Begitu sampai di meja makan, seluruh keluarga ternyata telah berkumpul dan memakan makanan mereka dengan hening.

“Ratih,”

Ku hentikan gerakan tanganku yang menarik kursi untuk duduk ketika mendengar teguran Eyang Sepuh.

“Mulai hari ini Kamu duduk di sebelah Gendis.” Titah Eyang Sepuh.

Gadis JelataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang