Keangkuhan

2 0 0
                                    

“Tidak mungkin!”

“Sudah pasti gadis rendahan inilah yang mencoba merayu putraku!”

“Dasar gadis jelata!”

“Gugurkan, gugurkan saja anak itu!”

“Aku tidak sudi, keturunanku kelak ada yang terlahir dari gadis keturunan rendah sepertimu,”

“Gugurkan anak itu, gadis rendah!”

Ndoro Putri bangkit berdiri, berteriak-teriak memakiku sembari berusaha menyerangku. Namun berhasil di cekal oleh Den Bagus.

“Cukup Lasmini...!” gertak Eyang Sepuh, membuat Ndoro Putri terdiam. Kemudian menangis tergugu.

Bruaaakh...!

Grumpyaaang...!

Ndoro Kakung murka, dilemparnya benda-benda antik penghias ruangan hingga pecah berserakan.

“Dasar anak tak tahu di untung!”

“Apa matamu itu kelilipan debu, hah! Bagaimana bisa Kamu terpikat pada gadis rendahan sepertinya!”

“Sudah tak waras kamu, Cahyo...!”

“Tole, tole... Kamu itu bangsawan, berdarah ningrat. Kok ya bisa-bisanya tertarik pada gadis kasta rendah sepertinya!”

“Apa sudah miring otakmu itu?”

Ndoro Kakung berteriak-teriak marah, bergantian ditunjukinya mukaku juga muka Den Cahyo. Dadanya naik turun, menandakan emosinya yang sudah naik sampai ubun-ubun.

“Sudah cukup!”

“Belum puas kalian menghina Ratih?”

“Bahkan sekalipun kalian tahu kenyataannya jika putra kalian lah yang berbuat kurang ajar, tapi masih saja kalian mencemooh Ratih!”

“Aku rasa bukan hanya otak Cahyo saja yang miring, tapi kalian juga sama konsletnya!”

Geram Eyang Sepuh. Memaki anak dan menantunya yang masih saja menyalahkan Ratih, meskipun tahu jika Ratih tidak bersalah.

“Sihir apa yang di gunakan gadis ini, sampai-sampai Ibu lebih membela gadis yang tak jelas asal asulnya ini dibandingkan dengan Kami, darah daging Ibu sendiri.” Pekik Ndoro Kakung, semakin murka. Matanya mendelik tajam memelototiku.

“Sudah kehilangan akal kamu Hardjo!”

“Sudah hilang rasa perikemanusiaan dari hatimu, sudah luntur semua yang pernah Ibu ajarkan padamu,”

“Sampai-sampai Kamu sudah tidak bisa membedakan lagi, mana yang benar dan mana yang salah.”

Bentak Eyang Sepuh, dengan nada suara yang berapi-api. Tak pernah ku lihat sebelumnya Eyang Sepuh sampai semarah ini.

Grumpyaaang...!

Ndoro Kakung menendang guci tua mahal kesayangan Eyang Sepuh, sembari mendengus, marah.

Eyang Sepuh menghela nafas panjang sembari memegangi dadanya. Melihat langsung kelakuan anaknya.

“Tunggu, Hardjo Diningrat!” tegur Eyang Sepuh ketika melihat Ndoro Kakung hendak melangkah pergi.

“Ada apa lagi Bu?”

“Ingin memberikan pembelaan pada gadis jelata ini lagi?” tanya Ndoro Kakung, sinis.

“Bukan pembelaan, tapi keadilan. Ingat itu!” ucap Eyang Sepuh dengan menekankan pada setiap kalimatnya.

“Cahyo harus di asingkan sementara waktu dari sini,”

Gadis JelataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang