0.5

68 21 10
                                    

Tok tok tok...

"Masuk."

Bertha melangkahkan kakinya ke ruang kerja seorang pria yang membuatnya melupakan salah satu harta termahalnya. Dan saat ini, meski yakin usaha nya sia-sia, Bertha tetap mencoba mengutarakan keinginannya.

"Ini aku, Mas" Bertha langsung menarik kursi sehingga kini ia duduk berhadapan dengan suaminya.

Tanpa memerhatikan kehadiran istrinya dan masih fokus pada pekerjaannya, ia tampak seperti lelaki sukses dan workaholic. Tetapi, hal itulah yang membuat Bertha menggilainya.

"Mas? Aku mau minta sesuatu."

"Apa? Katakanlah, pasti aku akan membelikannya," jawab Andri, lagi lagi tanpa menoleh ke arah istrinya itu.

Tanpa mereka sadari, seorang gadis tak sengaja mencuri dengar percakapan tersebut. Kelanjutan percakapan itu pun hanya membuat hati sang gadis hancur berkeping-keping.

***

Seperti pisau yang tertancap di kenyalnya daging
Seperti itulah rapuh dan pasrahnya aku
Seorang gadis kecil yang malang, karena tak punya
tempat bersandar
Seorang gadis yang hanya berlindung di balik benteng
tak terlihat bernama doa
Tapi seiring berlarinya sang waktu,
kupikir gadis itu telah berubah
menjadi pisau yang menatap tajam di sebuah dinding
Akan selalu terhempas, seiring terhempasnya
jiwa dan pribadi ini.


Yesha meraih ponselnya dan mencari kontak seseorang yang paling di butuhkannya. Seseorang yang paling mengerti dirinya, Zellya.

"Halo, Zell? Ke Mall, yuk!"

Entah sudah berapa banyak air mata yang tersiram di pipi mulus gadis ini seiring dengan kata-kata yang keluar dari mulut pria itu. Mulut pria itu bagaikan gudang senjata. Setiap kata terasa bagai pedang yang menggores luka. Adakah yang bisa membayangkan ribuan pedang yang sudah tertancap di hatinya?

Dedaunan rimbun dan aroma kayu yang menyegarkan menjadi saksi pertemuan mereka kesekian kalinya. Mereka saling memadu kasih, namun terhalangi oleh sebuah palang yang sulit untuk dihindari.

Di dalam CnB Cafe, tampak sosok Jian dan Adrian bersama dengan dua cangkir kopi hitam tanpa gula kesukaan mereka. Jian yang merupakan gadis idaman Adrian, benar-benar terlihat cantik sore ini. Begitu pun Adrian di mata Jian. Baginya, Adrian adalah sosok lelaki paling sempurna di antara semua pria yang mendekatinya. Jian yang cantik berdampingan dengan Adrian yang tampan. Jian yang kapten cheerleader, berdampingan dengan Adrian si anggota tim basket. Jian yang anggun berpasangan dengan Adrian yang cerdas. Sempurna.

"Hahahaha... masa'gitu, sih, ceritanya? Parah baget kelakuan lo pas kecil, Yan!" Suara tawa mereka menggema, seperti pasangan yang paling bahagia. Mereka tengah berbincang tentang masa lalu Adrian yang suka ngompol di kelas.

"Sstt! Udah ah, malu tahu! Untung gue buru-buru pindah ke Jakarta. Jadi, di sini gue bisa bikin image baru yang..."

"Bertolak belakang sama masa lalu lo?" Potong Jian yang disertai anggukan mantan Adrian. "Emang lo yang sekarang gimana, sih?" Tanya Jian dengan wajah manjanya. Adrian mengusap puncak kepala Jian. "Gue yang sekarang adalah gue yang mampu bikin lo jatuh cinta."

Drrrt... Drrrt...

Belum sempat Jian menjawab, terdengar getaran dari ponsel Adrian yang diikuti kemunculan nama mamanya di layar ponsel. Adrian melirik ke arah Jian yang langsung menganggukkan kepalanya, seolah memberi izin bagi Adrian untuk mengangkat telepon.

"Iya, Ma... Adrian lagi sama teman. Ha? Aduh... jangan dong, Ma. Bisa mati di rumah, nih, Adrian. Aaah, Mama, nih. Iya, iya satu jam lagi Rian pulang. Bye, Ma." Adrian menutup telepon dengan wajah frustasi. Seolah baru saja mendapat kabar buruk yang menyebabkan sebuah bom bunuh diri di hatinya. Bagaimana bisa seorang gadis yang selalu membuatnya risih, kini akan tinggal di rumahnya selama beberapa minggu?

"Kenapa diam, Yan? Mama lo kenapa?" Tanya Jian yang keheranan melihat raut wajah Adrian. "Mama bilang, Yesha akan tinggal di rumah gue selama beberapa hari."

"Oh... gitu," Jian mengangguk kaku. Senyum yang semula mengembang di bibir manisnya kini mengendur. Kata-kata Adrian di telepon tadi yang hanya menyebutnya sebagai 'teman' semakin membuat hatinya kecut.

"Lo nggak marah, kan?" Adrian menggapai tangan gadis di hadapannya.

Jian menggeleng. "Kalau itu kemauan lo, gue pasti marah. Tapi itu kan kemauan nyokap lo, jadi gue harus hargai itu," ucapnya bohong. Dalam hati, Jian tergores. Jian terluka. Sampai kapan, sih, lo mau bohongin Yesha? Makin lama lo bohongin dia, makin lama juga lo gantungin gue di posisi yang menyakitkan, Yan!  batinnya.

Sebenarnya jika di nilai, kecantikan Jian dan Yesha sama-sama mendapat nilai sempurna. Jian dengan rambut panjang nya, Yesha dengan rambut pendek yang berpotongang bob. Jian dengan kulit kuning langsatnya,  Yesha dengan kulit putihnya. Jian dengan keahlian dance, Yesha dengan keahlian menulis. Di mata orang pun, keduanya sama-sama ramah dan suka menolong.

Seketika terlintas di pikiran Adrian. Seharusnya jika ia bisa dengan cepat mencintai Jian, ia pasti bisa menyukai Yesha yang sama sempurnanya dengan Jian. Mungkin, jika Yesha bersikap normal dan tak berlebihan padanya, itu bisa saja terjadi. Eh, tidak, tampiknya dalam hati. Bagaimana pun, hati Adrian sudah memilih pelabuhannya, seorang Jian Deanna.

***

Jian Deanna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jian Deanna.

***

"Hai! udah lama gak nyapa para readers nih! Gimana cerita nya pada part kali ini? Semoga enjoy ya! Jangan lupa vote dan comment ya, dukungan kalian sangat berharga!"
-ra

Happiness || ellestrwbrryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang