13|Gardenia🌺

91 5 1
                                    

Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Cuaca tidak akan terang secara terus-menerus. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam. Begitulah kutipan dari RA Kartini.

Pagi ini, matahari bersinar sangat cerah. Angin dari luar menyelinap masuk melewati celah-celah rumah kecil Denia. Seperti biasa, detak jantung kehidupan kembali bermula, memang seperti itulah adanya.

Seorang Gardenia Jasmin merasa bahwa kehidupannya tidak pernah berubah. Sehabis kegelapan, tidak pernah ada lagi keterangan yang mengitari hidupnya. Menurut Denia, hanya orang-orang beruntung saja yang bisa merasakan rasa terang itu.

Denia ini entah hidup sebagai apa. Manusia kah? Tapi Denia selalu merasa seperti kucing kampung yang diperlakukan secara tidak adil, pecinta kucing sekali pun masih engan menyentuh kucing tak beruntung seperti itu.

Andaikan. Hanya itu saja yang dapat Denia pikirkan setiap detiknya. Andai saja Denia begini, andai saja Denia begitu. Sungguh, hidup Denia hanya dipenuhi 'pengandaian' yang tidak pernah berujung 'akhirnya'.

Hari ini Denia kembali diam di rumah, tidak menjalankan kewajibannya sebagai pelajar. Bukannnya malas, hanya saja Denia terlalu menghawatirkan mamanya yang akhir-akhir ini lebih sering kambuh.

Contohnya saja seperti malam tadi. Mamanya tiba-tiba mengamuk sembari melempari pintu kamar dengan benda-benda di sekitarnya. Hal yang membuat Denia sedih adalah ketika mulut Rina terus-terusan menyebut nama ayahnya. Pria yang sampai detik ini masih mendapatkan cap jahat dari pandangan Denia.

"Gak sekolah, Den?"

Usai menyampirkan baju basahnya di jemuran, Denia langsung menengok pada 2 orang ibu-ibu yang sudah memakai kostum untuk pergi ke kebun. Biasa, mayoritas penduduk di kampung Denia ini kebanyakan mengolah ladangnya sendiri tapi ada juga yang sekadar kuli saja.

Denia mengangguk sopan dengan senyum tipis yang dicetak dengan mulutnya.

Sang ibu dengan rambut digelung langsung mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus kalau begitu. Sering-sering jaga rumah biar ibu kamu juga keurus. Kalau kejadia waktu itu terulang lagi, malah kita semua yang kena repot."

Mendengar tuturan itu, lengkungan bibir Denia langsung memudar. Perempuan bersurai panjang itu mengangguk canggung. "I-iya, Bu. Maaf."

"Yaudah, kami pergi dulu ya," ujar ibu-ibu itu sebelum berlalu dari sana.

"Padahal anaknya udah gede, udah punya kesibukan sendiri. Tapi masih aja sanggup ngurus ibunya yang udah kayak gitu."

"Iya, padahal lempar aja ke rumah sakit jiwa, dari pada tinggal di wilayah kita, kampung jadi sering heboh."

Denia hanya memandang punggung kedua wanita tua itu dengan tatapan sendu. Telinganya tidak tuli, tapi bisa-bisanya mereka bergosip di hadapan Denia.

Andaikan ia memiliki alasan, mungkin Denia akan marah dan mencabik-cabik mereka. Tapi tidak mungkin, yang ada dirinya dan mamanya akan semakin terkucilkan.

Denia hanya bisa meluapkan amarah melalui kepalan tangan yang sedang memeras pakaian basahnya. Sesekali Denia menggigit bibir bawahnya untuk menahan agar ia tidak berteriak kesal.

Dunia memang tidak adil bagi orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan. Makhluk bumi yang dianggap paling sempurna itu ternyata hanya bisa menatap sesamanya dengan tatapan mentah. Mereka tidak mengabaikan perasaan dari orang yang mereka injak semaunya. Kejam, tapi entah mengapa mereka semua tidak pernah menyadarinya.

🌺

Mamanya demam, bibirnya pucat, dan perempuan itu terus mengigau, membuat Denia bingung harus melakukan apa.

Miserable Gardenia [Revisi Dulu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang