|3|Gardenia🌺

128 15 4
                                    

Saat Denia kembali dari toilet, Nando dan kawan-kawannya sudah tidak ada lagi di tempat semula. Di meja itu hanya menyisakan Latif seorang diri beserta dengan ponselnya yang selalu setia digenggamannya.

"Na-Nando kemana?" Tanya Denia bingung. Ia menyebarkan pandangannya ke segala penjuru kafe. Tapi nihil, Nando tidak ada.

Latif menurunkan ponselnya kemudian memasukannya ke dalam saku. "Dia udah pulang, lo pulangnya sama gue."

"Kok Nando pulang?"

Latif mengedik. "Bukan pulang sih, mereka pada mau ke base camp. Sebenernya gue males nungguin lo, tapi Nando maksa biar gue tetep di sini dan nganterin lo. Dia kasihan sama lo, takutnya lo gak punya duit buat ongkos." Ujarnya sambil melangkah ke luar kafe.

Denia masih terdiam, mencerna ucapan Latif yang akhirnya sedikit menggores hati. Sungguh, Denia tak habis pikir kenapa Nando segitu jahatnya. Ia kira Nando sudah berubah. Tapi untuk sekarang Denia tetap berpositif thinking, mungkin saja urusan Nando sangat mendesak.

Lama bergeming di tempat, tiba-tiba ponsel Denia mengeluarkan bunyi. Ada sebuah pesan yang dikirimkan Nando untuknya.

Sorry, Sayang. Aku ada acara, Makannya ke base camp duluan.

Denia menghempaskan nafas panjang kemudian tersenyum miris. Denia sadar bahwa dirinya tidak berada dalam posisi penting di mata Nando. Bahkan tidak akan pernah penting.

Setelah membalas dengan kata 'Gapapa', Denia langsung keluar dari kafe, mengikuti Latif dan menghampirinya yang sudah stay di atas motor.

"Jangan pegangan sama gue." Ucap cowok itu sarkastik.

Denia hanya mengangguk, ia langsung duduk di jok belakang sembari berusaha menjaga jarak dengan sang pengemudi.

Dari awal hingga akhir perjalanan, Denia dapat melihat dengan jelas raut malas yang ditunjukan oleh Latif.

Denia faham, Latif pasti sangat terpaksa harus mengantarkannya pulang. Jika memang punya pilihan lain, mungkin Denia juga tidak akan mau pulang bersama Latif. Tapi bagaimana lagi, dugaan Latif benar bahwa Denia sedang tidak memegang uang untuk membayar ongkos.

"Lo betah tinggal di rumah buluk kayak gitu?" Tanya Latif melirik rumah kecil denia dari atap hingga tanah. Rumah yang catnya sudah pudar itu benar-benar tidak enak dipandang. "Pasti banyak kecoa." Lanjutnya yang langsung membuat Denia menunduk.

"Makasih udah nganterin."

Latif tidak menggubris Denia. Ia tetap menatap bangunan kecil itu kemudian bergidik. "Jijik gue liatnya, yaudah gue pergi." Ucapnya blak-blakan.

Denia memandang kepergian motor Latif. Ada rasa sedih dan sakit ketika mendengar ujaran demi ujaran yang keluar dari mulut laki-laki itu. Bahkan bukan hanya Latif, setiap teman sekelasnya yang mengetahui keadaan Denia, mereka pasti selalu berkata macam-macam. Bahkan mereka juga tak segan untuk mencemooh dan merendahkannya.

Hidup Denia memang sangat menderita. Entah sampai kapan nasib buruknya itu akan terus berlanjut.

Sebuah lampu mobil tiba-tiba menyorot ke arahnya. Denia dapat melihat dengan jelas siapa orang yang ada di balik kemudi mobil hitam itu. Ayahnya. Ah, lebih tepatnya dia adalah mantan ayah.

Rendra menyunggingkan bibir setelah menurunkan kaca jendela mobil. "Oh, kerjaan kamu kayak gini? Pulang malem sama cowok. Habis ngapain? Habis jual diri?"

Mata Denia langsung melotot ketika mendengar perkataan Rendra yang tak mengenakan hati. "Apa maksud anda?! Saya tidak sebodoh itu."

"Kamu itu memang bodoh, sama seperti mama kamu. Hidup kalian gak pernah berguna." Kemudian pria itu terkekeh tanpa dosa seolah sedang bercanda. "Nyesel saya pernah jadi suami mama kamu dan jadi papa kamu."

Miserable Gardenia [Revisi Dulu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang