|7|Gardenia🌺

79 4 0
                                    

Pulang sekolah kali ini Denia hanya ingin menikmati waktunya sendirian saja. Ia harap di perjalanan nanti tidak ada yang mengganggunya. Tapi kalau memang ada yang mengganggu, Denia akan berusaha untuk pura-pura tuli meskipun itu mustahil.

Tadi Nando sempat menemuinya di kelas, cowok itu mengajak untuk pulang bersama. Tapi entah mengapa Denia sangat tidak minat, Denia menolaknya dan mengajaknya lain kali saja.

Tadi juga, Denia tak sengaja mendengarkan percakapan Seli dan Iris. Mereka sedang berbincang tentang rencana main Timezone di City Mall. Memang seperti anak kecil, tadi mereka bertiga sangat menyukainya. Maaf, bukan bertiga lagi. Kali ini mereka berangkat berdua, tanpa mengajak Denia. Tidak apa, semoga saja Denia akan terbiasa menahan rasa sesak seperti itu nantinya.

Saat ini Denia sedang tidak ingin naik angkot ataupun bus. Jika ia menaiki kendaraan itu, suasananya akan sangat bising, dan Denia tidak mau tenggelam dalam kebisingan tersebut.

Denia lebih memilih untuk jalan kaki, tak peduli mau kapan sampai ke rumah. Bahkan jika kakinya sampai bengkok pun, Denia tak masalah.

Sedangkan soal sang mama yang berada di rumah, Denia sudah menitipkannya pada tetangga paling dekat. Biasanya tetangganya itu selalu menjalankan amanah, meski hanya menengok mamanya dari luar kaca jendela.

Setengah jam sudah berlalu, dan rumah Denia masih jauh. Denia mengedarkan pandangannya lalu menghampiri sebuah kedai kopi. Entah ide dari mana ia menghampiri tempat tersebut, padahal Denia sama sekali bukan penikmat kopi.

"Mau pesan apa, Mbak?" Tanya seseorang pria berkumis tipis dan berperawakan jangkung. Pria tersebut memakai kaus merah dengan celemek kecil yang terikat di pinggangnya.

"Kopi saja." Jawab Denia sekenanya. Ia tak yakin kalau dirinya memiliki uang untuk membayar pesanannya itu. Lalu nanti mau bayar pakai apa? Daun? Mana mungkin!

Pria itu terkekeh kemudian membuka buku menu yang ada di atas meja. "Ada banyak varian kopi, Mbak. Di antaranya kopi Espresso, Affogato, Long Black, Cappucino--"

"Udah, Kak." Denia merentangkan kedua tangannya ke depan. Mengapa pria yang tidak diketahui namanya itu harus membacakan semua menu kopinya? Lagipula Denia tidak tahu kopi macam apa yang diucapkannya tadi. Denia hanya tahu kalau kopi itu pahit dan akan manis jika ditambahkan gula. "Buatkan kopi yang paling pahit saja, Kak."

"Pahit? Kenapa harus pahit?" Tanyanya bingung.

Denia menghela nafas dengan kening yang berlipat-lipat. Sebenarnya tugas pria di hadapannya ini apa, sih? Kenapa banyak tanya sekali.

"Karena hidup saya memang seperti kopi. Pahit." Jawab Denia sembari berdecak dan hal itu malah terkesan curhat. Bodoh sekali, lagipula tidak akan ada orang tahu rasanya hidup pahit. Di dunia ini hanya dirinya saja yang pernah merasakannya.

"Baik, tunggu sebentar, Mbak." Ucapnya sambil berlalu.

Denia menopang dagunya dengan tangan yang bertumpu pada meja kayu. Perlahan senyumnya mengembang  karena takjud dengan bentuk kedai yang ditempatinya itu. Meskipun kecil, tapi kesannya tidak terlalu sempit. Ada beberapa lukisan kopi yang tergambar di atas kayu yang digantung pada setiap sisi dindingnya. Benar-benar sangat aestetic!

"Silahkan diminum kopinya, Nona!" Ucapnya sambil menaruh secangkir kopi hitam pekat di hadapan Denia. Orang yang mengantarkan kopi itu bukan orang yang berkaus merah tadi, tapi orang berkemeja abu-abu dengan topi putih yang menutupi matanya.

"Terimakasih." Balas Denia sambil mengambil cangkir tersebut.

Kalau dilihat dari bibirnya, pria itu seperti bukan orang dewasa. Orang tersebut langsung duduk berhadapan dengan Denia kemudian menaruh sendok putih di atas meja.

Miserable Gardenia [Revisi Dulu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang