Chapter 3

10.7K 1K 58
                                    

Happy reading 💜

| | |

Seminggu berlalu. Suasana di rumah Dimas juga sudah kembali normal seperti biasanya. Hari-hari mereka lewati hanya berenam saja. Belum ada niatan untuk menjemput adik bungsu mereka.

Seperti pagi ini, mereka bangun pagi seperti kebiasaan di rumah masing-masing. Sarapan pun sendiri-sendiri, tak nampak kebersamaan yang Dimas harapkan.

Reza sarapan di meja makan sendirian. Marcell yang juga baru selesai memasak telur mata sapi untuknya dan Gavin lalu duduk di ruang makan agak berjauhan dengan Reza. Sementara Gavin, anak itu sarapan di ruang tv sambil menonton kartun setelah menerima sepiring nasi beserta telurnya.

Lalu Al datang setelah mencuci wajahnya. Kemudian menuju dapur untuk membuat segelas susu. Setelahnya ia ikut duduk di antara Reza dan Marcell. Beda Al, beda El. El tidak malas, hanya saja ia tidak  berselera makan di rumah. Jika pagi ia akan mencari tukang bubur atau nasi uduk kesukaannya. Lalu siangnya ia akan makan di luar, dan terkadang malam pun ia masih makan di luar. Kebiasaannya memang begitu-begitu saja sejak mendiang ibunya pergi 2 tahun lalu.

Regan itu manja, karena semua orang memanjakannya. Regan akan bangun bila ada yang membangunkan, ia akan makan jika makanan sudah tersaji di meja makan. Dan pagi ini, setelah ia di baweli Reza barulah dia muncul dengan seragam SMA-nya. Lalu duduk di sebelah Reza.

"Bang, Regan pindah sekolah ajalah kalo gini caranya, masa tiap hari pulang pergi Bekasi-Depok. Kesiangan terus tau, mana guru piketnya rese semua kan ngeselin bang." Keluhnya sambil mengoleskan selai stroberi favoritnya ke dalam roti.

"Gampang amat, gue aja masih gak rela ninggalin temen-temen gue di Tangerang, Gan." Gavin yang mendengarnya menyahuti. Ruang makan dan ruang tv tak ada sekat, jadi tidak sulit untuk mereka berkomunikasi.

"Ya mau gimana lagi, masa gue tinggal sendirian di Bekasi, gamaulah ntar gak ada yang ngurus."

"Cih, manja lo!" cibir Gavin.

"Biarin, yang penting ganteng banyak yang suka, hahaha."

"Jangan ketawa-ketawa kenapa sih?! Nanti keselek, baru tau rasa kamu!" tegur Reza yang hanya di balas cengiran oleh sang adik.

"Kamu juga pindah Vin, abang khawatir kalo kamu sekolah jauh-jauh, abang sama bang Reza udah sepakat, termasuk Al sama El yang juga pindah kuliah." Jelas Marcell tanpa basa basi.

"Lah, kok tiba-tiba sih bang? kenapa gak bilang dulu?"

"Gak tiba-tiba ini bilang 'kan, Vin." ujar Al santai.

"Iya tapikan bilangnya seudah di sepakati kalian, artinya tanpa sepengetahuan Gavin!"

"Iya-iya Vin, abang yang salah gak libatin kamu sama Regan, tapi ini demi kebaikan kamu juga, abang sama Marcell udah urus kepindahan kalian semua." Reza berusaha memberikan pengertian, ia sadar bahwa ia adalah pengganti sang ayah karena ia anak pertama.

"Tau ah, apaan coba ngambil keputusan gak bilang-bilang!" ketus Gavin masih belum mau mengerti, ia pun bangkit dari sofa, menaruh bekas makannya di wastafel dan pergi sekolah tanpa pamit.

"Gavin!!" panggil Marcell tapi terlambat, anak itu sudah melesat pergi.

"Vin, tungguin elaah. Jangan di pikirin bang biar Regan yang ngomong ke Gavin." ucapnya seraya menyusul Gavin. Mereka itu kan seumuran, Regan pikir tak akan sulit kalau Regan yang membujuk Gavin.

"Maafin Gavin ya bang, nanti aku bicara baik-baik lagi ke dia." tentu saja Marcell merasa tak enak atas sikap Gavin yang kurang sopan tersebut.

"Gak apa-apa Cell, abang ngerti kok."

Our Little Brother [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang