Chapter 9

9K 1K 130
                                    

Happy reading 💜

| | |

Awan hitam semakin pekat disertai dengan angin kencang yang membuat hawa dingin dua kali lipat lebih menusuk. Malam ini sepertinya akan turun hujan di kota Depok.

Arras tiba di terminal Depok pada pukul 7.50 pm. Seharusnya ia tiba dirumah 2 jam yang lalu. Tapi karena ia pulang bertepatan dengan jam pulang kerja, maka ia harus rela membuang waktunya untuk suatu kemacetan yang tak berujung. Arras memacu langkahnya sedikit lebih cepat meski kakinya kini mulai terasa kaku.

Awan mendung menjadi alasan utamanya. Ia tidak mau sampai di rumah dalam keadaan basah terlebih lagi ia sudah ingkar janji pada Reza. Kakak pertamanya itu pasti akan menghujaninya dengan beribu pertanyaan perihal keterlambatannya.

Pertandingan tadi siang selesai pada pukul 12. Setelahnya mereka merayakan kemenangan dengan memasak nasi liwet di sekolah hingga pukul 4 sore. Arras pulang ke rumah lamanya, bermaksud untuk mengambil istirahat sebentar. Beruntung ketika mimisan tadi tak ada yang mengetahuinya. Mungkin kalau Bayu dan Gatra tau, mereka akan kelimpungan dan berakhir membawanya ke klinik milik ayah Gatra. Sayangnya ia lupa mengisi baterai handphone-nya. Arras merutuki kebodohannya sepanjang jalan. Ia takut kakak-kakaknya akan salah paham nantinya.

Arras menghentikan langkahnya saat pening di kepalanya kian menjadi-jadi. Anak itu membungkuk menumpukan kedua tangannya pada lutut persis seperti gerakan rukuk ketika sholat.

"Dek, kamu gak apa-apa?" tanya seseorang.

Arras mengangkat wajahnya, dilihatnya seorang lelaki yang kalau boleh Arras tebak mungkin sekitar 3 atau 4 tahun lebih tua darinya tengah mengkhawatirkannya. Arras tak mampu bersuara, ia hanya menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja. Ia tak ingin merepotkan orang lain.

"Yakin? Muka kamu pucet banget lho itu."

Sekali lagi Arras menggelengkan kepalanya dan kali ini disertai dengan senyuman. Pria itu pun mengangguk ragu. Pikirnya, anak ini mungkin sudah terbiasa seperti itu.

"Ya sudah kalau begitu hati-hati ya," ucapnya kemudian berlalu pergi.

Arras buru-buru menuju semak-semak dan memuntahkan isi perutnya yang tak seberapa itu. Percayalah sedari tadi ia menahan mual hingga lelaki tadi pergi.

Arras mendudukkan dirinya di trotoar sambil mengatur nafasnya. Jalanan sudah sepi karena rintik hujan sudah mulai turun seperti dugaannya.

Pria tadi yang belum sepenuhnya pergi pun menghampirinya lagi.

"Katanya gak apa-apa tapi malah duduk disini, ayok saya anterin pulang, dimana rumah kamu?" tanyanya.

"Jalan Margonda Raya no.57," bisik Arras yang masih menunduk. Ia pasrah karena tubuhnya sudah sangat lemas.

"Hah? Serius? Itu rumah temen saya dek," ujarnya namun tak ada respon dari remaja yang ada di depannya. Merasa semakin khawatir, lelaki itu pun akhirnya memapah Arras menuju mobilnya dan mendudukkannya di kursi penumpang.

Dalam perjalanan, sesekali dia menengok ke belakang memastikan anak yang ditolongnya itu baik-baik saja. Ia baru bisa bernafas lega ketika melihat Arras masih mengerutkan keningnya pertanda bahwa ia masih mempertahankan kesadarannya.

Hingga 15 menit kemudian mereka pun tiba di rumah yang Arras maksud. Lelaki itu kembali memapah Arras masuk ke dalam.

"Ini beneran rumah temen saya, namanya Elvino temen kampus."

"Itu kakak saya, mau masuk dulu gak kak?" tanya Arras yang sudah duduk di bangku teras.

"Enggak dek, lain kali aja saya lagi nganterin pesenan orang takut kelamaan, lagian gak terlalu deket juga kok sama El, cuma beberapa hari ke belakang kita pernah kerja kelompok di rumah ini."

Our Little Brother [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang