Rengkuhan Jimin hangat, atau setidaknya dulu hangat. Yoongi selalu meringkuk dalam rengkuhan lelaki itu baik dalam kesenangan atau kesusahan hidupnya. Jimin selalu ada untuknya dalam masa yang sangat berat dalam hidupnya. Masa berat sebelum masa ini. Tendangan kecil mengguncang perut Yoongi dan ia membawa tanganya untuk mengusap perut buncitnya. Anaknya tumbuh setiap hari didalam sana dan tinggal tiga purnama lagi sampai ia lahir. Kelahiranya akan jadi awal masa-masa sulit yang baru. Masa sulit yang akan ia tuai, yang akan dituai seluruh garis keturunanya. Membunuh dan dibunuh.
Yoongi anak salah satu dari sekian banyak pekerja di kerajaan. Ayahnya seorang kepala perpustakaan yang tak banyak disorot orang karena tidak pernah menyibukkan diri dengan hal lain kecuali buku-buku dan perpustakaan. Perpustakaan kerajaan adalah tempat bermain Yoongi sejak ia kecil. Ia suka bersembunyi di lorong-lorongnya. Ia membaca hampir semua buku dan gulungan yang ada di perpustakaan. Ketika keluarga kerajaan atau pejabat penting berkunjung, ia akan bersembunyi di balik meja ayahnya. Disanalah ia pertama mengenal Putra Mahkota Park Jimin.
Yoongi amat pendiam dan dingin sejak ia kecil. Park Jimin adalah kutub yang berlawanan dengan dirinya. Putra Mahkota itu ramah, ia suka tersenyum. Karena ayahnya melarang Yoongi menampakkan diri, Yoongi kecil mengintip anak lelaki dengan pakaian sutera mewah itu dari balik meja ayahnya. Kebiasaan itu berlanjut sampai Yoongi remaja, kini secara sembunyi-sembunyi ia menatap Putra Mahkota dari balik rak-rak buku. Suatu pagi, Jimin menghampirinya dan mengajaknya berkenalan.
Waktu itu Yoongi berusia enam belas tahun, dan Jimin empat belas tahun. Yoongi sudah mengantuk tapi Park Jimin tidak juga meninggalkan perpustakaan. Yoongi dan ayahnya tertahan disana untuk menunggui Jimin. Jimin bangkit berdiri ketika tengah malam sudah berlalu, Yoongi dan ayahnya mengantar Pangeran Mahkota keluar dari perpustakaan hingga Jimin dijemput para penjaga dan kasimnya. Jimin hendak turun dari teras perpustakaan yang tinggi, ketika seorang penjaga berlari kearah mereka. Penjaga itu ketakutan, teriakanya pilu ketika menyampaikan amanah raja yang terakhir: 'Lindungi Putera Mahkota'. Lelaki itu bahkan tak pernah berhasil menyeberangi halaman luas hingga ke perpustakaan. Ketika teriakan seraknya redam, sebuah panah beracun menancap di tenggorokanya. Ia tak lagi bisa menjerit. Panah itu terasa mengganjal dan dingin di dalam tenggorokanya, ganjalan yang membuatnya secara spontan meneguk ludah dalam kesakitan, membuat racun di mata panahnya tertelan bersama ludahnya. Racun itu membunuhnya dalam beberapa sengalan nafasnya. Darah perajurit itu menggenang di tanah, berkilauan ditimpa purnama yang keperakan.
Jimin bergetar ketakutan dan para penjaga itu langsung mengerubungi mereka. Ayah Yoongi menarik lengan puteranya dengan remasan kuat dan berbisik di telinganya.
'Bawa Putera Mahkota pergi dari sini, Yoongi-yah'
Yoongi mengangguk. Sama sekali tidak tahu konsekuensi perbuatanya.
Saat itu sekumpulan orang dengan penutup wajah telah sampai di sisi halaman yang lain. Pedang di tangan mereka berkilauan dan darah menetes-netes ke tanah. Mereka berteriak untuk menyerbu, dan Yoongi menarik Jimin untuk lari. Lari sampai mereka jauh keluar istana.
Esok paginya, istana itu ramai. Oleh tangis, oleh darah, oleh jasad.
Jimin pucat pasi dan tak ada tangis yang lolos dari matanya. Pangeran Mahkota berdiri dengan gemetaran. Tak ada yang selamat dari keluarga kerajaan selain dirinya sendiri. Raja, Ibu Permaisuri, Ibu Selir, saudara-saudaranya, pelayan kerajaan, semuanya bergelimpangan tak bernyawa. Tak ada yang berdiri disisinya. Jimin sendirian. Dari kejauhan, ia melihat Yoongi yang menangisi jasad ayahnya.
Mereka tumbuh berdua dan menjadi semakin dekat. Semua luka dan kematian itu membuat Jimin jadi... setengah tidak manusiawi.
Kerajaan itu pulih dengan perlahan-lahan. Jimin naik tahta di usianya yang ke lima belas. Setahun pasca pembantaian yang menewaskan semua keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Played Out Prince [Completed]
FantasiTaehyung melihatnya, lelaki itu berdiri disana dengan baju polos tanpa hiasan dan penutup kepala sebagai simbol kedukaan. Sedikit tidak wajar melihat pakaian itu dikenakan untuk berziarah. Orang-orang memakainya hanya pada hari kematian. Tapi barang...