BAGIAN 1

1.6K 44 3
                                    

"Innalillahi," ucap belasungkawaku saat mendengar meninggalnya Asti. Kematiannya cukup tragis. Wanita itu tersambar petir saat menerima telepon dari suaminya.

Katanya, sekarang pihak keluarga Asti meminta jenazahnya untuk di bawa ke kampung halaman. Ibu dari almarhumah merasa kematian anaknya itu atas kesalahan menantunya sendiri.

Cepat aku menuju rumah duka, di sana sudah banyak tetangga yang melayat sambil menyaksikan betapa dramatisnya saat jenazah Asti digotong untuk dimasukkan ke mobil ambulan.

"Itu suaminya?" tanya Ceu Ai pelan, Ceu Ade mengangguk mengiyakan.

"Uluh, masih muda. Ganteng lagi."

Ganteng? Mana, mana?

Ah, dasar orang-orang ini. Malah ngumpul di depan aku. Mana gak ada papan intruksi yang kecil di depan, lagi, kan jadi gak bisa lihat apa yang tadi dibilang sama Ceu Ade.

"Eros, kamu kenapa?" tanya Ceu Ai. Mungkin karena melihat aku loncat-loncat kecil.

"Gak keliatan, Ceu," jawabku sambil cengengesan.

"Makanya, jangan duduk muluk."

Jleb! Sakit, Gusti. Masa iya ada orang duduk terus loncat-loncat. Kebayang kayak jadi kodok.

Dari tadi tuh aku berdiri, Eceu!

"Ros, ada duda anyar tuh, ganteng lagi. Hayu, deketin. Biar gak jomlo wae." Mulut ceu Ade.

Iya, gak usah diingetin terus tentang kejomloan ini. Semua orang kampung juga tahu. Rosmiati anaknya Abah Anwar ini belum menikah di usia dua puluh lima tahun.

Ya, karena memang gak ada yang ngajak nikah. Entahlah, keimutan ini menyiksaku. Sering dikira masih sekolah jadi yang deketin gak jauh dari cowok berseragam putih abu yang masih suka pacaran, terus di tinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Sirine mobil ambulan berbunyi, melaju meninggalkan rumah duka. Umur, siapa yang tahu. Asti pulang ke kampung halaman untuk dikuburkan.

Satu per satu para pelayat meninggalkan rumah duka, hingga memberi celah untukku melihat keadaan di beranda rumah almarhumah.

Seorang pria duduk bersandar ke dinding, wajahnya basah, memandang kosong ke arah di mana mobil ambulan tadi membawa istrinya pergi.

Sisi hati ini tersentuh, iba, kalau deket mungkin udah aku peluk.Eh.

"Eros, ayo pulang!" ajak Ceu Ade ngagetin.

"Jangan dulu dideketin, Eros. Masih baru, masih beku," celetuk Ceu Ai.

Dua ibu-ibu itu emang paling usil. Senengnya ngeledek orang, gak nyadar apa mereka juga masih sempurna untuk jadi bahan ledekkan. Untung Eros anaknya baik, sopan dan penyayang.

Sebagai orang paling muda, aku manut, ikut pulang sambil hati masih merasa kasihan sama Aa tadi.

Aa siapa, ya?

"Ceu, suami Asti namanya siapa?"

"Cieee ...," ledek Ceu Ade dan Ceu Ai kompak.

Nah, kan. Nyebelin.

"Jiwa kejomloan Eros meronta-ronta," lanjut Ceu Ai.

"Membuatnya tak mampu bertahan dalam kesendirian." Ceu Ade menambahkan.

Aku menatap datar kedua makhluk gempal itu. Mengikhlaskan diri menjadi sumber kebahagiaan mereka.

***

Tiga hari berlalu, kematian Asti masih menjadi trending topik di warungnya Bi Tacih. Ibu-ibu berdaster ini begitu antusias mendengarkan pemilik warung.

Pesona Akang Duda (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang