BAGIAN 9

526 35 2
                                    


Semenjak pemberian nama pada nomer kontakku begitu mesra, tiap malam aku gak bisa tidur. Bukan hanya karena masih terlena sama nama kontak itu, tapi karena gak bisa mengakhiri chat antara kami berdua.

"Udah malem, Eros tidur, ya." Begitu  pesan yang dikirim Kang Abdu saat jarum jam menunjuk angka sebelas malam.

"Iya, Kang," balasku lantas di bawah nama Kang Abdu tertulis 'Sedang mengetik'.

"Aa, Ros." Kang Abdu menegaskan kata panggilan untuknya.

"Akang." Meski sebuah ketikan, memanggil Kang Abdu dengan panggilan yang dia mau nyatanya masih terasa canggung.

"Aa."

"Akang." Kukuhku.

"Aa, Sayang."

Aaa ...! Gak nahan. Aku guling-guling di kasur sambil meluk bantal dengan hape masih dalam genggaman. Untung percakapan ini lewat chat WA jadi Kang Abdu gak lihat gimana ekspresiku saat ini yang sedari tadi nyengir kuda tiap membaca balasan darinya.

Belum lagi mengetik balasan, di bawah nama kontak Kang Abdu tertulis sedang mengetik. Aku menunggu sampai suara notifikasi dan pesan baru masuk.

"Ros, sudah tidur?"

"Belum." Aku mengirim pesan, tapi kok di sisi pesannya gak ada centang malah jam kotak, tanda pesan belum terkirim.

Gak lama ada SMS dari operator. Kuota Eros abiiis ...!

***

Pagi sekali Emak udah masak, gak biasanya. Padahal aku udah siap-siap mau pergi ke warung Bi Tacih. Sedikit kecewa, teringat percakapan semalam sama Kang Abdu belum selesai.

"Eros, bawa ini," ucap Emak sambil mindahin tumis kangkung dari katel ke piring.

"Iya, Mak."

Aku mengambil tumis kangkung tadi untuk dihidangkan di ruang tengah. Disusul Emak yang membawa asin cucut dan sebakul nasi.

Emak hanya menyiapkan dua piring, sementara Bapak belum juga keluar dari kamar.

"Bapak belum bangun, Mak?"

"Bapak sakit. Nanti kamu jagain bapak, ya."

Aku terhenyak. Dada ini seakan menyempit hingga sesak kurasa. Kasihan pada Bapak juga tak tega pada Emak. Merasa jadi anak tak berguna diusia yang harusnya membahagiakan mereka.

"Eros saja yang ke sawah, Mak." Bukan tak mau ngurusin Bapak. Setidaknya Emak enggak bakal terlalu capek kerja di sawah sendirian, dan Bapak juga ada yang jagain.

Emak menatapku nanar, entah apa sampai mata yang dihiasi keriput halus itu berkaca-kaca, lalu menghela napas panjang.

"Kapan kamu nikah, Ros?" tanya Emak terisak.

Pertanyaan yang sebenarnya sudah biasa kudengar, kali ini terasa berbeda, lebih sakit karena ada air mata diujung pertanyaan itu.

Ini bukan mauku, hanya jodoh yang seakan menjauh. Atau memang aku yang terlalu pilih-pilih, tapi bukankah pernikahan itu suatu yang sakral? Tak mungkin sembarangan memilih suami meski keadaanku tak pantas untuk memilih.

"Emak sama Bapak udah uzur, Ros. Pengen liat kamu bahagia sama suamimu," lanjut Emak.

Aku menghela napas panjang, tak sepakat dengan apa kata Emak. Bahagia itu luas tak sebatas pernikahan saja.

Sempat niat melamar kerja agar bisa membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, sayangnya aku terkendala oleh ijazah. Keadaan ekonomi bawah membuat Bapak tak sanggup menebus ijazah yang tertahan di SLTP tempat bersekolahku dulu.

Pesona Akang Duda (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang