Alis Kang Abdu menaut, melihatku dengan lekat. Udah, Kang. Aku gak nahan lihat mata Akang.
"Bi Tacih."
Jiaaah! Gubrag!
Setua apa mukaku sampai disamakan dengan Bi Tacih yang usianya 20 tahun lebih tua dariku. Pengen nangis ...!
"Saya Rosmiati, Kang."
Kang Abdu malah makin menautkan alisnya. Ini laki napa ya? Kok bikin gemes, ekspresinya gitu-gitu aja, kayak talenan. Datar.
"Yang kemarin minta gula barengan," tambahku. Barulah Kang Abdu mengangguk.
"Oh," jawabnya singkat.
Udah, gitu aja. Gak ada kata maaf atau sebagainya, malah lanjut milih sayur mentah di meja dagangan.
Apa sama Nenti dia sedingin ini juga? Atau cuma sama aku aja? Ah, harusnya sih, aku sadar diri.
"Neng," panggil Kang Abdu menoleh.
Aduh, itu suara lembut banget kayak suami lagi manggil istrinya.
"Iya, Kang."
"Kalau bahan perkedel kentang apa saja, ya?"
"Kentang, Kang."
Kang Abdu tersenyum. Manis banget. Leleh hatiku saat kali pertama pria berkumis tipis itu memperlihatkan apa yang sudah aku tunggu.
"Apa lagi?"
"Garem." Sengaja jawab dikit-dikit biar obrolannya panjang, makin sering pria berkulit putih itu bicara makin lemas detak jantung ini.
Aneh saja, Kang Abdu sudah lama tinggal di sini, tapi dulu aku gak pernah merasa akan kehadirannya dan mungkin kami pernah bertemu sesekali tapi sekali lagi, aku gak pernah merasakan pesonanya begitu luar biasa.
Dan aku harap obrolan kita gak sebatas tentang perkedel kentang tapi tentang masa depan kita juga. Eeaak ...!
"Satu lagi Kang Abdu." Tiba-tiba Ceu Ade nongol dari tempat persembunyian bersama pasukannya.
Keliatan dari sini Kang Abdu agak kaget. "Apa, Ceu?"
"Atih ayang."
Eaak! Geli.
***
Sepanjang perjalanan pulang dari warung Bi Tacih, para tetangga yang rumahnya aku lewatin pada melongo, gak terkecuali si Nenti. Wanita yang sebenarnya lebih muda dariku itu terlihat tertawa geli. Bikin sakit hati. Emang ada yang lucu apa sama aku ini?
"Teh Eros, abis manggung?" tanya janda ditinggal cerai itu.
"Abis dari warung Bi Tacih, Ti." Mungkin cuma aku aja yang manggil dia dengan kata belakang dari nama Nenti.
Nenti tertawa kecil. "Alisnya kok cuma sebelah?"
What? Bi Taciiih ...!
Berarti Kang Abdu juga liat alis aku dong, tapi dia kok gak bilang apa-apa. Ah, tutup muka pake kresek ini mah.
Dari dulu aku memang gak mahir dalam merias wajah, paling cuma bedakkan aja. Ya, karena yang aku punya cuma itu aja. Gak kayak Nenti yang bulu matanya kayak sapu injuk, alis melengkung kayak parang, bibir mirip cabe bertumpuk, di tambah kulit putih yang suka dipamerin sampe paha.
Mundur aja gitu?
Meninggalkan Nenti di teras rumahnya, aku pulang ke rumah mengolah bahan sayur asem jadi lodeh. Goreng ikan asin terus bikin sambel dadakan. Beres. Biasanya pukul sebelas siang Bapak sama Emak pulang.
"Ros!" Dari suaranya sih, itu bukan Bapak ataupun Emak. Tapi kayak suara cowok.
Meninggalkan dapur untuk melihat siapa yang bertamu siang-siang.
"Calvin?" ucapku melihat pria dengan tubuh menjulang di depan pintu.
Calvin, teman masa SD dulu yang melanjutkan kuliahnya di kota. Mungkin di kampung ini cuma dia yang sekolahnya sampai ke bangku kuliah.
"Iya, Ros. Nikah, yuk!"
Jiah! kalau dihitung dari jaman SD, ini 99 kalinya dia ngajak nikah.
"Enggak, kamu tuh gak bosen apa ngomong gitu?"
"Ya enggaklah, Ros. Sampai kapan pun, Aa gak bakal bosen dan siap nunggu kamu sampai mau."
Bukannya sok jual mahal dan pilih-pilih. Calvin ini anak dari juragan Ferdi, orang paling kaya di kampung ini. Jadi aku cukup tahu diri, gak mau sakit hati jika nanti orang tuanya bakal ngelarang hubungan kami. Apalagi mengingat cara istri pak Ferdi melihatku ketika gak sengaja ketemu di jalan, kayak lihat kotoran ayam.
"Udahlah, Vin. Aku mau istirahat dulu, capek." Cepat kututup pintu, gak mau kalau obrolan ini semakin meluas ke urusan hati.
"Ros, Rosalinda!"
Aku tersenyum mendengar panggilan Calvin dengan nama itu. Dari masa SD.
Tarik napas, embuskan. Lima menit menahan diri. Aku mengintip keluar dari jendela kaca. Calvin sudah pergi. Harusnya dia gak kembali ke kampung kalau cuma bikin bimbang perasaanku saja.
Dari kejauhan Emak dan Bapak terlihat berjalan menuju rumah, cepat aku menghampiri mereka bermaksud mengambil teko almunium dari tangan Emak.
Harusnya mereka beristirahat di usia renta ini, tapi karena kebutuhan hidup Emak Bapak tetap pergi ke sawah. Sesekali aku ke sawah kalau panen saja.
"Besok Eros aja ya, yang urus sawah," ucapku selagi menyiapkan makan buat mereka.
"Jangan, Ros," larang Emak.
Aku menghela napas.
"Emak gak mau kamu makin susah cari jodoh karna bantuin emak di sawah."
Aku diem, dengerin sambil nahan sakit hati.
"Iya, temen sebaya kamu udah pada punya anak. Coba kamu main keluar jangan di rumah muluk." Kali ini Bapak yang bicara.
"Kalau boleh, Eros gak mau nikah. Eros mau urus Emak sama Bapak aja."
Mungkin aku cuma jadi beban Emak sama Bapak selama aku belum menikah, tapi aku gak mau jika nanti menikah harus ninggalin mereka berdua.
***
Pagi, seperti biasa setelah nyiapin sarapan buat Emak Bapak, aku pamit ke warung. Sebelum itu aku melewati rumah Nenti dan di sana ... ada Kang Abdu.
Mereka berdiri berhadapan. Terlihat Nenti berbicara sambil tangannya gak mau diem milin rambut di depan dadanya sedang Kang Abdu sesekali tersenyum singkat.
Sesak juga sakit.
Kenapa sih Nenti gak mau ngalah, dia kan udah pernah nikah. Kasih kesempatan buat para jomlo kek.
Memalingkan pandangan dari mereka, aku pergi tanpa mengucapkkan kata pemirsi.
"Eros!"
Deg! Suaranya kayak suara pangeran manggil Putri.
Aku menoleh, kang Abdu berjalan cepat menyusulku. Meninggalkan Nenti yang cemberut.
"Mau ke warung Bi Tacih?" tanyanya.
"Iya."
"Hayu bareng."
Tanah mana tanah. Aku takut terbang terlalu tinggi ini. Mungkin kah, kami nyasar sampai KUA?
Detak jantung kian bertalu hebat, kala aku merasakan tangan Kang Abdu narik lenganku.
"Hayu!" ajaknya sekali lagi seperti buru-buru.
Sabar, Kang. Penghulunya juga masih tidur.
Mungkin ini jawaban atas doa-doaku di sepertiga malam. Berjalan beriringan dengan Kang Abdu, warung Bi Tacih pun dirasa jadi dekat. Besok-besok pindah lah, Bi.
Namun, sebelum masuk ke warung sebuah tangan terentang menghalangi kami.
"Calvin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Akang Duda (SUDAH TERBIT)
Humor"Cieee ...," ledek Ceu Ade dan Ceu Ai kompak. Nah, kan. Nyebelin. "Jiwa kejomloan Eros meronta-ronta," lanjut Ceu Ai. "Membuatnya tak mampu bertahan dalam kesendirian." Ceu Ade menambahkan. Aku menatap datar kedua makhluk gempal itu. Mengikhlaskan...