BAGIAN 8

464 30 0
                                    


Nyesel sudah dandan cantik yang datang Fergoso. Tahu gini mah, mending tadi gak usah dilipstik biar kelihatan serem terus Calvin pergi.

Aku berjalan malas ke depan rumah harusnya tadi cuci muka dulu, biar Calvin gak lihat wajah cantikku, nanti kalau dia susah move on, kan Eros juga yang repot.

"Sore, Rosalinda," sapa Calvin dengan suara genit. Aku jawab dengan deheman tanpa mengangkat pandangan, males liat wajah tengil cowok itu.

"Assalamualaikum, Ros," salam dari seseorang yang membuatku mendongak.

Akang.

"Waalaikumsalam, Kang Abdu," jawabku sambil tersipu malu, ngulum bibir biar sedikit mengkilat.

"Elah, tadi saya yang sapa, kamu gak mau nengok giliran bapak-bapak yang ngomong, kamu bales."

Aku menutup mulut dengan satu tangan menahan tawa, begitupun Kang Abdu. Dia tersenyum menanggapi protesnya Calvin.

Mentang-mentang lebih muda, cowok tengil itu manggil duda ganteng ini dengan sebutan 'Bapak-bapak.' Rese!

Mungkin, kami bertiga bakalan berdiri sampai petang dengan rasa canggung yang terus menahanku untuk memandang Kang Abdu jika Bapak tak datang dan menyuruh kami duduk di karpet hijau yang sengaja disiapkan Emak tadi.

Kami duduk dengan Bapak sebagai sekat antara aku dan dua pria beda usia itu. Dari sini aku bisa mencium aroma  tubuhnya Kang Abdu.

Udah ganteng, wangi lagi.

"Silakan diminum," tawar ibu menyuguhkan dua kopi hitam dan satu capucino.

"Kenapa Calvin beda sendiri?" tanyaku gak suka. Kopi yang disuguhkan sama Calvin, kan lebih mahal.

"Eit, Rosalinda jangan salah. Kopi hitam khusus buat Bapak-Bapak. Kalau Aa kan masih muda."

Sumpah, enek banget liat muka PD Calvin, apalagi saat dua alis tebalnya naik turun.

"Terima kasih, Bu," ucap Kang Abdu tetap dengan gaya super kalem dan ngademin. Ah, jadi pengen neduh di sisinya.

"Calvin diminum atuh kopinya," tawar ibu tersenyum ramah, lantas duduk di sisiku. "Calvin ganteng, ya, Ros," bisik Emak kubalas dengan senyuman saja.

Dari obrolan para pria, Akang Abdu lebih banyak diam, sesekali senyum buat nanggepin Calvin yang sedari kedatangannya gak berhenti bicara. Dari obrolan tentang tahu yang diproduksi sudah mulai dipasarkan ke luar Kabupaten sampai teman-teman dari kota yang tengah melaksanakan KKN di kampung ini katanya akan ikut mengadakan perlombaan di bulan Agustus nanti.

"KKN tuh apa?" tanyaku, kata itu rasanya asing di telinga ini.

"Kapan kita nikah," jawab Calvin naik turunin alisnya. Dasar gak punya urat malu padahal ada Bapak sama Emak dan Kang Abdu di sini.

Aku melirik ke arah Kang Abdu, dan ternyata duda itu juga tengah memandangku dengan tatapan entah, lalu duda itu menyesap kopi dengan tergesa.

"Sudah kenal lama sama Rosmiati?" tanya Kang Abdu pada Calvin, dari bagaimana cara Kang Abdu bicara sepertinya ini serius.

Bahkan Bapak, Emak dan Calvin langsung menghentikan tawa mereka sesaat mendengar pertanyaan Kang Abdu barusan.

"Dari kecil, kami kan satu kampung, satu sekolah, satu hati juga. Iya 'kan, Ros?"

Aku menggeleng untuk pernyataan terakhir. Enak saja satu hati.

Kang Abdu mengangguk paham.

"Bapak sama Emak ke dalam dulu, ya. Sok kalian ngobrol saja," pamit Bapak mengajak Emak masuk rumah.

Dikiranya aku gak tahu apa orang tua itu ngintip di balik gorden jendela.

"Ros, kamu inget gak waktu kecil kita sering ngambil asem di kebun Ceu Minah?"

Aku mengangguk, sambil lirik-lirik dikit Kang Abdu yang menyimak obrolan kami.

"Dulu kan kamu salah ambil, dikira buah asem taunya ee kucing. Mentang-mentang bentuknya sama. Huahaha  ...!"

Sumpah, pengen banget nyumpal mulut mangap itu pake sendal. Seneng banget malu-maluin aku depan Kang Abdu. Lagi pula itu kan cerita udah lama banget ngapain diingetin lagi.

Aku melirik Kang Abdu, rupanya dia tengan menahan tawa, menutup lengkungan bibirnya dengan kepalan tangan ditempelkan di tepi bibir.

"Eros nangis, sampai gak mau megang buah asem lagi," lanjut Calvin. Lalu Kang Abdu menoleh ke arahku, matanya seolah menyakan kebenaran yang dikatakan cowok rese itu.

Aku mengangguk, lantas selarik senyum terukir indah di wajah Akang Duda.

.

Masih larut dalam obrolan masa lalu, Kang Abdu gak banyak bicara mungkin karena memang dia tidak terlalu banyak tahu tentang masa kecilku. Sebatas menyimak cerita dari Calvin. Kadang kami tak mempedulikan ceritanya karena dari tadi aku dan Kang Abdu hanya saling melempar senyum saat sama-sama tertangkap basah tengah mencuri pandang.

"Calviiin ...!" Suara menjelenging entah dari mana asalnya. Namun, aku pastikan itu suara milik dari orang terkaya di kampung ini. Istrinya Juragan Ferdi.

Calvin terperanjat, lalu mengusap wajah dengan dengkusan pasrah.

"Tuh, disuruh mandi sama ibunya," ledek Kang Abdu.
Calvin mendelik. Lantas bangkit menemui Bu Eem yang berjalan ke arah sini.

Akhirnya bisa bernapas lega ketika cowok nyebelin itu pergi meninggalkan aku dan Kang Abdu di teras.

"Dia sering main ke sini, Ros?" tanya Kang Abdu.

Aku menoleh ke arahnya, lantas mengangguk mengiyakan. Hening. Bingung, mau ngomong apa. Tiap kali deket sama pria ganteng ini hatiku deg-degan, gugup dan kelu.

"Suka main jam berapa aja dia?"

"Gak tentu, Kang. Kadang siang juga suka ke sini."

"Ngapain?"

"Ya, gitu. Gangguin eros sama candaan dia."

"Untunglah cuma candaan."

"Maksudnya?

"Kalau seriusan, kan gawat."

Kang Abdu tersenyum, lantas mengeluarkan benda pipih di saku celananya. "Nomer ponsel Eros berapa?"

Hais! Nomer ponsel yang diminta kok hati yang ribut sendiri. Kesenengan, akhirnya ngeluarin handpone dari saku rok aja susah.

"Ini, Kang." Aku menyodorkan ponsel.

Kang Abdu tersenyum. "Aa kan minta nomernya, Ros."

Eh, iya lupa. Kang abdu 'kan minta nomer ponsel. Aduh malu.

"Hehe, maaf, Kang. Abis senyum Kang Abdu bikin galfok."  Aku menyebut nomer ponselku. Kang Abdu mengetik dan mencoba memisscall. Hape yang berdering, kok hati yang bergetar.

"Save, ya, Ros." Aku mengangguk. Mengetik, memberi nama kontak itu dengan nama 'Akang Abdu' saja. Gak neko-neko, gak tahu kalau malam.

"Coba Eros misscall no Aa."

Aku melakukan apa yang Kang Abdu pinta.

"Udah masuk, Ros." Kang Abdu menunjukkan layar ponselnya di mana menampilkan nama si pemanggil.

Desir hangat menyentuh pipi, malu juga seneng saat membaca nama untuk nomer ponselku.

'My Lovely'

****

Pesona Akang Duda (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang